Chapter 5

17.3K 1.1K 13
                                    

Happy reading!

    Satu minggu berlalu, kini Xavian kembali disibukkan dengan tumpukan kertas dan berkas yang perlu disiapkan.

    Laki laki berusia 44 tahun itu melepaskan kaca mata kerjanya sambil memandang ke arah luar bangunan. Binaan manusia yang menjulang tinggi menghiasi pemandangan kota itu. Seminggu telah berlalu dan belum ada sekali pun si kecil menghubunginya. Tidak rindukan anak itu pada dirinya?

    'Tok! Tok! Tok!'

   "Come in!"

   Efren, asisten kedua dan antara orang kepercayaan Xavian. Efren memiliki tubuh yang tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan Xavian. Entah apa yang dikonsumsi Efren hingga memiliki tinggi badan 200 cm. Mungkin saja kayu bambu.

    "Tuan, we have 40 more minutes before the next meeting with Berjaya Corp. I think you should prepare now since the meeting will be held at their place."

   "Isn't it supposed to be at a restaurant?"

   "Yes, but they suddenly changed it at the last minute."

   "Whatever. After the meeting done, just clear up my schedule." Efran mengangguk patuh sambil mencatat setiap permintaan tuannya.

***

    "Gimana? Bamnya masih panas?"

   "Panasnya udah mendingan," kata Buna Yana lalu menempelkan kool fever pada dahi si kecil.

    "Abang~ Kakak~" lirih si kecil dalam tidurnya.

   "Aku jadi nggak tega liat Bam begini. Tapi kita juga nggak bisa bilang apa-apa. Pasti Bam kangen banget sama Tommy dan Cinta."

   "Iya. Bam itu paling dekat dengan mereka berdua. Nggak usah sedih, pasti Bam akan kembali seperti biasa. Yang penting jangan bawa-bawa nama Tommy sama Cinta."

    Kasian sekali Si kecil Bam. Abang Tommy dan Kakak Cintanya dijemput oleh keluarga mendiang orang tua mereka kemarin. Bam menangis kejar bila mengetahui ia akan ditinggal dua orang itu. Bahkan si kecil sampai terkena demam panas.

   Tommy dan Cinta sempat memberikan beberapa mainan kesayangan mereka kepada Bam karena setelah ini mereka berdua akan pindah ke kota lain yang cukup jauh dari sana.

    "Adek baik-baik di sini ya? Satu hari nanti, abang sama Cinta pasti akan bertemu dengan adek lagi. Adek jangan sedih, jangan nangis," kata-kata dari Tommy semakin membuat si kecil menangis. Ia memeluk erat tubuh sang abang yang akan meninggalkannya.

    "Kakak jangan pelgi. Ciapa nanti yang main cama Bam? Bam nanti cedih. Bam nanti ndada teman main. Kakak Cinta juga ndada lagi main cama Bam. Bam jadi cedih! Bam cedih!"

    "Kan masih banyak yang lain. Semua mau temenan sama adek. Kalau ada yang jahatin adek langsung bilang ke Buna ya? Jangan nangis lagi. Lihat muka adek udah merah-merah gini, jadi jelek adeknya abang."

    "Adek Bam jangan sedih. Cinta bakal kembali ke sini untuk main sama adek."

   "Janji ya?" Ketiga anak kecil itu berpelukan untuk terakhir kalinya. Buna Yana yang menyaksikan itu turut menangis.

    Malamnya, Bam langsung diserang demam sampai ke hari ini. Nafsu makan si kecil turut menurun drastis. Semoga saja keadaan si kecil cepat kembali seperti semula.

   Di belahan kota yang lain, Xavian yang sudah berada di kediamannya setelah rapat penting tadi masih bersantai di ruang tamu rumahnya.

   Rumah mewahnya memiliki 3 lantai dan beberapa fasilitas mewah lainnya, mulai dari kolam renang, helipad, theater room, gym, sauna, perpustakaan peribadi dan lainnya.

   Rumah mewah itu didiami oleh Xavian, dua anak bujangnya serta beberapa pekerja mereka. Namun kedua anaknya itu memang jarang ada di rumah dikarnakan kesibukan masing-masing. Si sulung yang sibuk dengan hal kantor dan si bungsu yang masih menikmati masa-masa mudanya dengan berkeliaran ke sana sini.

   "Should I call him?" gumam Xavian perlahan. Tangannya gatal ingin menelpon si kecil. Apakah si kecil sudah melupakan dirinya? Hmm? Sedang apa Bam di sana?

   "F*ck. Just call him!" Akhirnya nomor telefon Buna Yana ditekan. Tanpa menunggu lama panggilan telfon akhirnya tersambung.

   "Halo, Tuan Xavier."

   "Hello. Maaf mengganggu mu. Saya mau bicara dengan Bam sebentar, bisa?"

   "Aduh, bagaimana ya? Sebentar, saya lihat Bamnya dulu." Xavian menunggu dengan sabar.

   "Bam, mau ngomong sama Om Xavian?" tanya Buna Yana dan masih terdengar di telinga Xavian.

   "Hmm?" Suara Bam mulai terdengar walau perlahan.

   "Om Xavian mau ngomong sama Bam. Bilang hai sama om," pujuk Buna Yana masih terdengar. keadaan kembali sunyi sebelum tangisan sayu Bam kedengaran.

   "Bam jangan nangis sayang. Sebentar ya."

   "Bam kenapa?" tanya Xavian panik.

   "Maaf Tuan Xavian. Bamnya lagi nggak mau ngomong. Bamnya lagi demam."

   "Sejak kapan?"

   "Kemarin. Bam demam gara-gara kangen abang sama kakaknya. Mereka nggak tinggal di panti lagi karena keluarga mereka mau menjaga mereka."

    "Bam sudah diberi obat?"

    "Sudah. Tapi nafsu makannya menurun."

    "Saya paham. Tolong jagain Bam baik-baik. Sampaikan salam saya pada Bam. Terima kasih." Usai mematikan panggilan, Xavian langsung menelefon Peter.

   "Ya tuan?"

   "Bersiaplah. Kita berangkat secepatnya."
  
   "Hah? Berangkat ke mana?"

   "Kita kembali ke Desa Seriu malam ini juga. Beritahu Efren untuk mengurus semua kerja kantor selagi aku tidak ada."

   "Baik. Sebentar tuan. Berikan aku masa untuk mengambil barang keperluanku."

   "Make it quick."

.
.
.
Bersambung...

Maaf ya. Part kali ini agak pendek. Tapi jangan lupa vote dan komen. Tandain typonya dan berikan saran atau pendapat kalian tentang cerita ini. Makasih!

09/08/2024 Thursday
17/11/2024 Sunday - 1st edit
   

BAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang