Part 3

118 24 15
                                    

"Mell!"

"Mellia!"

"Mellia!"

Masih di tempat tidur dan terlelap, Camellia dikagetkan oleh gedoran pintu kamarnya dari luar. Cukup keras dan berulang kali.

"Mellia!"

"Oh, astaga, Vivi!" desah Camellia sambil menggeliat malas. Ia masih terpejam, matanya masih terasa berat untuk dibuka. Dan Vivi benar-benar mengganggu istirahat tidurnya.

"Mell! Ini gawat! Darurat! Genting!" seru Vivi dari balik pintu. Suaranya terdengar cemas.

"Ada apa, siiih?" Camellia mendesah panjang. Dan mau tak mau, ia beranjak bangun dari tidurnya. Turun dari ranjang dan melangkah gontai menuju pintu dengan mata terpejam, tapi masih samar-samar melihat jalan. Setelah sampai pintu, ia memutar kunci yang masih menggantung di daun pintu, lantas membuka pintunya.

"Ada apa, Vivi?" tanya Camellia sambil bersedekap serta menyandarkan punggung ke kusen. Pun dengan kepalanya ikut bersandar, karena mata masih terasa ngantuk berat. Dengan mata terpejam, telinganya siap mendengarkan informasi dari Vivi yang biasanya menyangkut pekerjaan.

"Papa kamu dan anak-istrinya bikin ulah. Dia bikin statement tidak mengenakkan kepada wartawan. Kamu dicap sebagai anak durhaka karena tidak mau mengakui Pak Hartono sebagai Papanya. Dan sekarang, berita itu sudah tersebar di berita gosip televisi dan media sosial."

"APAAA?!" Kali ini, mata Camellia bisa terbuka sempurna. Tubuh berdiri tegak. Kantuk pun hilang seketika.

"Aku baru nonton berita gosip di televisi. Terus, langsung ngecek akun Instagram, Tik Tok, dan YouTube-mu, sudah dipenuhi komentar caci-makian yang jahat-jahat banget."

"Astaga!" Camellia yang terkejut, langsung menepuk jidat menggunakan tangan kanan.

"Mell, kamu harus ngelakuin sesuatu buat ngebersihin nama baik. Ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Sudah sangat keterlaluan! Bener, deh! Aku yang nonton sakit hati banget kamu digituin. Padahal kenyataannya, sebaliknya. Papa sama Mamamu yang nelantarin kamu selama ini," usul Vivi dengan perasaan geram dan kesal sambil menatap Camellia yang berjalan mondar-mandir di depan pintu, dengan salah satu tangan berkacak pinggang dan satu tangannya lagi masih menangkup kening.

"Bentar, Vi. Aku belum bisa mikir. Ini reputasiku dirusak sama mereka. Branding nama yang kubangun secara susah-payah, dihancurkan begitu saja. Astaga! Aku masih belum percaya lelaki itu bisa ngelakuin hal sejahat ini sama aku."

"Kayaknya dia sakit hati karena semalam kamu langsung ngehindar, Mell."

Camellia mengangguk membenarkan. "Sepertinya, Vi." Lantas, ia berhenti mondar-mandir. "Aku ambil ponselku dulu. Siapkan laptop, check email, dan check semua pesan yang masuk di kamu. Takutnya ada sesuatu yang tidak ingin kuharapkan dari klien."

"Oke. Aku tunggu di bawah."

Camellia mengangguk. Melihat Vivi melesat menuju tangga, ia langsung masuk ke kamarnya. Lantas, menuju toilet terlebih dahulu untuk cuci muka dan gosok gigi.

***

Camellia, Vivi, Naya, dan Kemal, sudah berkumpul di ruang keluarga, duduk di lantai mengelilingi meja. Keempatnya sedang menonton tayangan berita gosip dari laptop, untuk menelaah lebih lanjut ucapan yang dilontarkan sang papa, istri keduanya, dan anak perempuannya yang terlihat sangat pongah.

"Saya sangat sedih karena Camellia Prahaswari, anak saya, tidak mau mengakui saya sebagai Papanya. Padahal dulu saya yang membiayai sekolah musik violinnya. Tapi, apa sekarang? Setelah sukses dan kariernya sudah di puncak, dia tidak mau menemui saya. Tidak mau menganggap saya Papanya," ucap Hartono dramatis. Patricia dan Revina yang berdiri di kanan-kiri, mengusap-usap bahu lelaki itu seolah menguatkan.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang