Part 1

155 29 9
                                    

"-Jika mulut tak mampu berbicara, hati tak mampu mengungkapkan rasa, maka melodi yang akan bercerita-"

~Camellia~

***

Perempuan bergaun putih tak berlengan dengan rambut cokelat keemasannya yang di-hairstyle ala wedding style, berdiri di tengah-tengah panggung besar dalam konser solo violinnya bersama grup orkestra simfoni terkemuka di negaranya, bertemakan, True Romanticist.

Camellia Prahaswari, nama perempuan 27 tahun itu, dengan penuh kepercayaan diri memainkan violin di hadapan ribuan penonton dari berbagai kalangan usia. Dengan lagu Czardas karya Vittorio Monti yang sedang dimainkan saat ini, Camellia yang berposisi sebagai solis biola, mampu memainkan instrumental itu dengan sangat baik, penuh penghayatan, dan kehikmatan.

Dengan teknik glissando, legatto, sautille, doublestop, artificial harmonis, dan detache yang telah dikuasai dirinya, instrumental lagu itu terdengar memukau dalam iring-iringan musik orkestra yang terpandu sangat baik oleh sang konduktor. Kecepatan intonasinya terdengar seperti dikejar-kejar tetapi teratur. Dilengkapi nada yang melambat dan meliuk, menjadi perpaduan aransemen yang begitu indah untuk dinikmati para pencinta musik klasik.

Sementara, Lily--gadis 7 tahun--yang sudah menunggu-nunggu konser itu berlangsung, terlihat begitu bahagia menontonnya. Apalagi sang daddy berhasil mendapatkan tempat duduk paling depan dan pas menghadap panggung, sehingga dirinya bisa leluasa melihat dengan jelas sang idola memainkan violinnya dengan penuh penghayatan. Mata perempuan itu yang terpejam, tubuh tingginya serta kepala yang ikut meliuk-liuk mengikuti instrumen violin yang dimainkan, membuat aura kecantikan Camellia sangat bertambah berkali-kali lipat.

Tak hentinya gadis kecil itu menatap penuh takjub, dibuat melongo, dan selalu berkata 'wow' di setiap mendengar kecepatan intonasi yang terdengar meliuk-liuk. Pengaturan jemari Camellia pada senar serta gesekan bow-nya yang cepat dan lincah, benar-benar membuatnya ingin seperti perempuan itu.

"Daddy, i want to be like her," gumam Lily, kepada sang daddy yang duduk di sebelah kanannya.

Leofric mengangguk. "Yes! You can do it, Girl," balasnya, bersuara lirih. Sedangkan, pandangan masih terfokus kepada sang solis biola.

"Tapi, Mami enggak ngizinin." Gadis kecil itu mendesah berat sambil mencebik.

"Tapi, Daddy ngizinin." Leofric merengkuh anaknya seraya mengusap-usap kepala gadis kecil itu. Menatapnya sekilas sambil mengulas senyum simpul, lalu pandangan beralih kepada Camellia lagi.

"Beliin violin lagi, ya. Nanti aku diam-diam mainnya di penthouse, Daddy. Pokoknya jangan sampai Mami tahu."

"Iya, Sayang. Nanti Daddy belikan violin lagi dan Daddy carikan guru les privat violin untukmu. Berlatih di rumah saja, ya."

Mendengar ucapan sang daddy, Lily mengangguk semangat. Lantas, ia menghentikan obrolan saat permainan lagu Czardas selesai, dan ikut bertepuk tangan saat semua penonton bertepuk tangan kompak. Seketika, ruangan luas dalam gedung yang memiliki tiga tingkat tempat duduk itu menjadi riuh dan ramai.

Dengan napas ngos-ngosan, Camellia tersenyum bahagia kepada para penonton setelah berhasil membawakan lagu milik sang Komponis Vittorio Monti. Pandangannya mengitari tempat duduk para penonton yang sangat minim pencahayaan dari ujung sampai ke ujung, dan dari bawah ke atas. Lalu, pandangannya terfokus kepada sang kekasih--Evan, yang duduk tepat di depan panggungnya. Ia tersenyum lebar kepada lelaki itu, pun dengan Evan membalas senyum lebarnya.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang