Part 17

94 19 15
                                    

"I don't want with Mami! I don't want!" Lily menangis terisak-isak di kamar. Ia ingin menelepon daddynya, tapi ponsel sudah disita sang mami.

Teringat ada telepon rumah, Lily langsung beranjak dari rebahannya. Lantas, mengayunkan kaki menuju pintu. Dan perlahan, ia membuka pintunya sangat pelan. Lalu, menyembulkan kepala lebih dulu mengecek sekitar. Di lantai dua, tidak ada orang. Maminya sedang ada di lantai bawah, mengobrol bersama tamunya. Terdengar samar-samar suara mereka.

Lantas, Lily mulai memberanikan diri keluar kamar dengan membiarkan pintu terbuka lebar. Sebab, telepon genggam yang akan ia ambil ada di atas meja dan tanpa kabel. Sehingga, ia bisa membawanya ke kamar.

Setelah mendapatkan, dengan cepat Lily berlari masuk ke kamarnya lagi. Dan tidak membuang waktu, ia langsung menelepon daddynya.

"Daddy! I want stay with you! I don't want with Mami," adu Lily, setelah sambungan telepon terangkat.

"Ada apa, Sayang? Kamu nangis? Mami marahin kamu?"

"Mami maksa aku les piano. Mami bawa guru piano ke sini. Tapi, aku tidak mau main piano. Aku tidak suka piano. Aku mau pulang ke penthouse Daddy! Aku mau tinggal sama Daddy!"

"Oke. Jangan nangis lagi, ya. Daddy jemput kamu sekarang."

"Faster! I don't want stay with Mami anymore!"

"Oke. Oke. Daddy berangkat sekarang. Tapi, janji sama Daddy. Tidak nangis lagi dan tenang."

"Oke." Lily manggut-manggut meskipun tahu daddynya tidak melihat.

Gadis kecil itu pun segera mengembalikan telepon genggam ke tempat semula, setelah sang daddy memutuskan sambungan telepon. Dan sesuai permintaan lelaki itu, ia tidak akan menangis lagi. Lalu, menyibukkan diri di kamarnya dengan membaca novel petualangan berbahasa Inggris.

***

Leofric tidak bisa tenang. Pikirannya berkelana ke mana-mana setelah mendapat aduan dari Lily. Ia masih memiliki pekerjaan menumpuk, tapi terpaksa ia tinggalkan dan keluar dari ruang kerjanya.

"Deviana, aku harus pergi sekarang," ucap Leofric, tergesa sambil melangkah cepat melewati meja sang sekretaris.

"Pak, sebentar lagi Anda akan ada pertemuan dengan klien," seru Deviana, tapi Leofric sudah agak jauh.

"Tolong handle!" balas Leofric bersuara lantang. Isi kepala sudah dipenuhi oleh Lily dan Lily. Ia khawatir dengan kondisi mental gadis kecilnya. Masih seusia Lily, sangat rentan mendapat gangguan mental jika terus dipaksa melakukan sesuatu dan dimarahi.

Farah benar-benar keterlaluan. Sifatnya tetap tidak berubah. Suka berkehendak sendiri untuk menuruti keinginannya. Lily yang notabene anak kandungnya pun masih bisa diperlakukan kasar seperti itu. Astaga. Jika tidak memikirkan perasaan Lily agar tetap mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang sudah berpisah, Leofric tidak akan sudi melepaskan Lily tinggal dengan Farah.

Setibanya di lobi dan mobil sudah diambilkan oleh penjaga dari parkiran basement, Leofric langsung melesat menuju rumah Farah. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Menyalip kendaraan yang menghalangi jalannya persis seperti pembalap. Namun, saat terjebak macet di lampu merah, lelaki itu mendesah seraya mengumpat karena memperlambat waktunya.

Empat puluh lima menit kemudian, Leofric telah tiba di kediaman Farah. Ia memarkirkan mobil secara asal di depan rumah berlantai dua dan bergaya modern itu. Dengan perasaan menahan geram dan marah, langkah Leofric yang lebar dan cepat terlihat seperti orang mau berlari. Dan tanpa permisi, ia langsung menerobos masuk ke rumah Farah.

"Leofric."

Kedatangan lelaki itu berhasil mengagetkan Farah yang masih ngobrol dengan Patricia di ruang tamu. Bercerita soal Camellia dan memiliki tujuan yang sama, membuat kedua perempuan beda usia itu cepat akrab.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang