Part 6

79 18 0
                                    

Lagi dan lagi, Camellia dibuat tak bisa berkutik oleh Evan, karena setiap ancaman lelaki itu pasti akan menjadi kenyataan. Perempuan itu mendesah berat seraya turun dari mobil mantan kekasihnya. Ia merasa, sekarang telah kehabisan stok udara segar untuk menjalani hidup bebas. Dan mau tak mau, ia menuruti kemauan lelaki itu untuk makan malam bersama keluarganya. Dengan kesepakatan, ia menyelesaikan tugasnya sebagai pengiring acara orang lamaran, yang bertepatan di restoran yang sama di Hotel Peninsula.

"Aku akan bergabung dengan keluarga. Dan kamu, jangan berani-berani kabur setelah selesai tugas," peringat Evan, setelah memberikan kunci mobil ke penjaga hotel.

Bak robot yang tak memiliki kekuasaan untuk mengalah, Camellia mengangguk patuh. "Iya. Jangan khawatir," balasnya singkat.

Camellia dan Evan memasuki lobi bernuansa klasik, diikuti tujuh pekerja perempuan itu. Lantas, ia meminta Vivi ke resepsionis untuk mengambil kunci kamar yang telah disediakan oleh sang klien. Sedangkan, dirinya bersama yang lain serta Evan, menunggu di tengah-tengah lobi dekat dengan meja marmer bundar berukuran besar, yang atasnya terpajang vas bunga besar berisikan bunga buatan.

"Aku harus ke kamar dulu. Menaruh barang-barang," ucap Camellia, kepada Evan dengan nada sangat malas. Perasaan cinta untuk lelaki itu sudah lama menghilang, sejak tingkah lelaki itu mulai tak terkendali.

"Jangan genit ke lelaki lain," peringat Evan lagi.

Camellia memutar bola matanya, malas. "Aku bukan kekasihmu lagi."

"Sudah kubilang, sampai kapan pun, kamu akan menjadi milikku."

"Aku bukan barang, Van."

"Kamu tahu itu. Jadi, jangan banyak bertingkah."

Dalam hati, Camellia sangat menahan geram. Tidak berselang lama, Vivi datang. Membuatnya menghela napas lega untuk segera berpisah dari lelaki itu. Namun, masih harus berjalan bersama menuju lorong tempat lift berada.

"Aku ke kamar dulu," ucap Camellia, setelah tiba di depan lift. Naya sudah memencet tombol ke atas.

"Ingat pesanku," peringat Evan lagi.

Tidak lama, salah satu lift terbuka. Camellia bersama tujuh pekerjanya segera masuk, sedangkan Evan memerhatikan sampai lift itu tertutup dan naik ke atas. Setelahnya, ia pun memutuskan beranjak dari tempatnya, menekan tombol lift yang langsung menghubungkan ke private restoran hotel di lantai enam puluh tujuh.

"Mell, perlu ke orang pintar, gak?" tawar Candra, masih di dalam lift menuju lantai delapan.

Camellia yang mendengar, mengernyit. Tidak paham. "Maksudmu?" tanyanya.

"Biar itu lelaki bisa lepas darimu." Candra menjawab santai.

"Nah, solusi yang tepat itu," seru yang lain, kompak.

"Cuma orang pintar sepertinya yang bisa misahin kamu dari lelaki itu, Mell." Vivi menimpali.

Camellia mulai paham arah pembicaraannya. "Iya kali aku main dukun. Nanti kalau bayarnya disuruh pakai tubuh? Atau tumbal manusia? Kalian mau aku tumbalin?" kelakarnya.

"Paling duit, Mell. Enggak sampai numbalin kayak cari pesugihan."

Camellia menggeleng. "Bukan solusi yang tepat. Aku enggak mau berurusan dengan dukun."

Pintu lift terbuka. Mereka keluar, langsung mencari kamar nomor 1409. Tak berselang lama, menemukan dan mereka masuk ke kamar tersebut untuk menaruh barang-barangnya. Camellia mengambil violin dari wadahnya, lalu mengetes melodi. Sedangkan, Candra, Gatra, Elga, dan Bayu, menyiapkan kamera untuk merekam. Selain untuk bahan video YouTube Camellia, juga untuk dokumentasi klien Camellia yang meminta paket video sekaligus.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang