Part 7

107 22 2
                                    

"Hai, Sayang." Evan langsung merengkuh pinggang Camellia, dan berhasil mengejutkan Leofric yang melihat kedatangannya secara tiba-tiba.

"Keluargaku sudah menunggu." Evan berbisik di sela senyum palsunya. Itu sebuah peringatan dan penegasan untuk Camellia, agar perempuan itu segera berlalu dari hadapan anak dan bapak tersebut.

Camellia menarik napas dalam-dalam. Kerongkongan pun terasa kering, saking enggannya bersama Evan. Dengan perasaan malas dan tertahan, ia menatap Lily seraya mengulas senyum. "Lily, aku pergi dulu, ya. Sampai jumpa di lain waktu."

"Iya, Kakak. Terima kasih, ya," balas Lily, penuh rasa bahagia. Lantas, ia menghampiri sang daddy. Sedangkan, Camellia mulai berlalu bersama lelaki asing.

"I love her so much, Daddy," ucap Lily seraya melangkah menuju mejanya kembali.

"I know." Leofric mengangguk paham. Ia tahu jika anaknya sangat mengidolakan Camellia.

Sementara, Evan yang baru membawa Camellia ke meja keluarganya, dan perempuan itu menyapa mereka satu per satu dengan keramahan. Tidak berselang lama, Evan membawa Camellia ke suatu tempat. Langkahnya tertuju ke toilet, lantas berhenti di lorong sebelum pertigaan antara lorong toilet pria dan wanita. Sepi orang di sana, meskipun sesekali ada yang lewat.

"Apa kamu tuli, Camellia? Apa kamu meremehkan peringatanku?" cecar Evan, bersuara lirih dan dingin dengan menahan geram sambil menyudutkan tubuh Camellia ke tembok. Salah satu tangannya menahan tangan kanan Camellia di belakang pinggang perempuan itu, cukup erat dan kuat. Sedangkan, satu tangannya lagi menahan tangan kiri Camellia pada tembok. Jika orang lain yang melihat, keduanya seperti sedang bermesraan. Berdiri berhadapan tanpa jarak.

Camellia menatap tajam lelaki itu, menantang. "Aku bukan kekasihmu lagi. Dan aku berhak atas diriku sendiri untuk menyapa penggemarku." Suaranya tak kalah dingin.

"Alasan! Itu hanya trikmu untuk mencari perhatian dengan lelaki yang memotomu tadi." Evan semakin meremas kuat pergelangan tangan perempuan itu.

"Jangan gila! Itu ayahnya. Dia memiliki istri. Hanya membantu anaknya mengambil foto denganku."

"Dan fotomu tersimpan di ponsel lelaki itu. Senang 'kan?" Suara Evan dingin dan tajam.

"Sudah bukan urusanmu lagi. Aku bukan kekasihmu, Van. Bukan kekasihmu," ucap Camellia penuh penekanan. Ia berusaha memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi, Evan semakin mengencangkan cengkeramannya dan semakin mengikis jarak. Membuatnya semakin tertekan, hingga kesulitan bergerak. Saat ada seseorang masuki lorong toilet, lelaki itu langsung menciumnya seperti tak ada rasa malu lagi. Sedangkan, orang tersebut merasa abai, hanya melewati saja. Mungkin sudah paham jika dirinya dan Evan memiliki hubungan, karena sejak awal menjalin hubungan sudah terpublish ke publik.

Ciuman pun semakin lama saat ada seseorang masuk lagi. Dan itu Leofric serta Lily.

"Lily, tutup matamu," instruksi Leofric, saat melihat idola anaknya sedang bercumbu di lorong toilet umum. Ia menggeram kesal sambil menatap dingin sepasang kekasih itu. Sangat tidak tahu tempat.

"Iya, Dad." Lily mengikuti arahan sang daddy. Telapak tangan kirinya yang bebas dari genggaman sang daddy, langsung digunakan untuk menutup mata dan matanya ikut terpejam.

Keduanya melewati Camellia dan Evan. Memiliki mata setajam elang, Leofric menatap dingin Camellia. Jika bisa mengumpat, ia akan berkata, "Tidak tahu malu!". Namun, ia tidak akan melakukannya, karena akan menjadi contoh yang jelek untuk Lily.

Sepeninggal Leofric dan Lily dari lorong dan mereka berbelok ke arah toilet perempuan, Camellia yang kehabisan napas karena mulut dibekap mulut Evan, langsung mendorong lelaki itu. Sungguh. Ia sangat jijik mendapat ciuman tiba-tiba itu, meskipun tak ada pagutan mesra.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang