Part 13

88 24 12
                                    

Suasana menegangkan begitu terasa di depan ruang IGD, dengan Kemal yang sedang mendapat penanganan di dalam ruangan. Camellia sendiri tak hentinya menangisi lelaki yang sudah dianggap seperti kakak. Ia takut terjadi sesuatu kepada Kemal, ia takut lelaki itu mendapatkan luka yang parah. Dan sedari tadi, ia terus menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang dialami Kemal.

"Mell, kita harus ngelaporin dia ke polisi. Ini sudah masuk tindakan kriminal," usul Gatra. Ia juga ikut geram setelah mendengar pelaku yang melukai Kemal adalah Evan.

"Enggak segampang itu." Camellia menggeleng keras di sela tangisnya. Kedua kakinya tak bisa diam, terus bergetar hebat. 

"Terus kamu akan ngebiarin lelaki itu berkeliaran bebas? Melukai orang-orang yang ada di sekitarmu dan melakukan kekerasan terhadapmu sampai enggak bernyawa?" Gatra tak habis pikir dengan Camellia. Wajah perempuan itu pun memiliki lebam di sudut bibir, leher, dan ada di beberapa tempat lainnya. Kulitnya yang putih mulus tentu akan sangat cepat meninggalkan bekas kebiruan.

Benar-benar iblis berkedok manusia si Evan. Tidak beda jauh dengan Hartono Prahananda.

"Gatra, aku tahu ini sangat membahayakan kita. Tapi, lawan kita Evan. Evan. Lelaki psikopat yang memiliki backingan kuat di belakangnya. Sedangkan, aku, kita, cuma orang biasa dan tidak sekuat mereka."

Gatra bersama yang lain terdiam, mencerna ucapan Camellia. Ada benarnya juga. Jika susah untuk melaporkan Evan ke pihak berwajib. Lantas, hukuman apa yang pantas untuk lelaki itu? Untuk memberi keadilan kepada Camellia dan Kemal yang sudah menjadi korban.

"Sebelumnya, dia juga sudah ngancam Mas Kemal. Dan sekarang, ancaman itu benar-benar terjadi di Mas Kemal. Lalu, bagimana dengan efek yang akan kita terima jika ngelaporin dia ke polisi, hah?" Camellia menatap Gatra yang berjalan mondar-mandir di depannya duduk. "Bukannya semakin membaik, tapi akan semakin parah. Apa kamu yakin dia akan mendapat hukuman? Sedangkan hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang? Apalagi Evan anak pejabat. Dalam sekejap, namanya pasti akan bersih tanpa noda. Dan kita ... kita yang akan terus dihantui oleh tindak kriminal mereka," lanjutnya, dan semakin pusing untuk mencari jalan keluar. Ia sudah terjebak oleh Evan, melalui hubungannya sendiri.

"Ini salahku. Karena aku sudah menjalin hubungan dengan lelaki yang salah." Camellia menggeleng keras, semakin terisak.

Vivi dan Naya yang duduk di kanan-kirinya, menenangkan.

"Mell, bukan salahmu. Jangan menyalahkan dirimu terus."

"Maafin aku." Camellia masih merasa sangat bersalah. Yang ditakutkan sekarang, korban Evan selanjutnya adalah orang-orang yang ada di sekitarnya. Vivi, Naya, Bayu, Gatra, Candra, Elga.

Saat mendengar suara ceklikan pintu dari ruang IGD, Camellia langsung menoleh. Cepat-cepat ia beranjak untuk menghampiri sang dokter. Begitu pun dengan yang lain.

"Bagaimana kondisi Mas Kemal, Dok?" tanya Camellia, gelisah bercampur khawatir.

"Saya berharap, setelah pasien sadar, tidak ada luka serius di kepalanya karena pasien mengalami benturan cukup keras. Pendarahan yang dialami pun cukup banyak. Tapi, kalian jangan khawatir, pasien masih bisa diselamatkan dan kami berhasil menanganinya dengan cepat. Sebentar lagi pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap," jelas sang dokter.

"Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk Mas Kemal," pinta Camellia, sungguh-sungguh.

"Baik, Mbak Camellia. Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Kalau begitu, saya permisi dulu." Dokter itu mengangguk sekali seraya tersenyum simpul, lantas berlalu dari hadapan Camellia dan yang lain.

"Mas Kemal pasti akan segera membaik," ucap Naya sambil mengusap-usap punggung Camellia penuh perhatian.

"Kalau kalian mau berhenti bekerja denganku tidak apa-apa. Aku takut kalian akan menjadi korban Evan selanjutnya. Cukup Mas Kemal yang menjadi korban kejahatan dia. Aku tidak mau kalian kena juga," ucap Camellia, bersuara lirih.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang