Part 26

83 22 10
                                    

Bersama Camellia, Leofric kembali ke mejanya. Salah satu tangan masih merengkuh pinggang perempuan itu cukup mesra dan menjadi perhatian orang-orang, termasuk para rekan semejanya yang mengeluarkan cuitan menggoda.

"Jangan lupa undang kami ke pernikahan kalian, ya."

"Ini pertama kali aku melihat Leofric menggandeng perempuan setelah lama menduda. Percaya lah, Camellia. Leofric ini orang yang bertanggung jawab dan penuh kasih. Kamu tidak akan menyesal bersama Leofric."

'Semua laki-laki sama saja. Tolong jangan dilebih-lebihkan,' batin Camellia di balik senyum tipisnya sambil menerima bantuan Leofric yang mendudukkan dirinya di kursi lelaki itu.

Leofric mengangkat tangan, memanggil pelayan dan segera dihampiri. "Boleh minta satu kursi lagi?" pintanya, dan mendapat anggukan dari sang pelayan.

Sambil menunggu, Leofric berdiri di belakang Camellia. Ia melihat kedatangan Evan yang juga memasuki ballroom. Keduanya saling beradu tatap, dingin. Jika Leofric bersikap tenang, berbeda dengan Evan yang mengeraskan rahang.

"Jangan menggoda kekasihku seperti itu. Beri dia kenyamanan duduk di sini," ucap Leofric, yang langsung mendapat deheman godaan dari rekan semejanya.

"Oke. Oke." Salah satu rekan Leofric mengangguk patuh, meskipun masih senyum-senyum menggoda. "Maaf, Camellia. Kami hanya senang saja melihat teman duda kami yang satu ini, akhirnya menemukan belahan jiwanya kembali," lanjutnya.

Camellia hanya membalas dengan senyuman simpul. Sebenarnya ia sedang menahan malu, nerves, juga merasakan jantung yang terus berdebar kencang. Kegugupan dirinya mungkin terlihat jelas dari wajah yang terasa tegang. Tapi, tangan Leofric yang menangkup sebelah pipinya dan mengusap lembut, berhasil membuatnya lebih tenang. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya terasa begitu nyaman di dekat lelaki itu. Saat menerima sentuhan dan perhatiannya, ada perasaan aneh yang menyusup ke relung hati.

Namun, lagi dan lagi, Camellia tetap menegaskan hati untuk tidak terbawa suasana. Hubungannya dengan Leofric hanya pura-pura. Dan ia tahu, perlakuan lelaki itu kepada dirinya juga hanya berpura-pura.

Dari tempatnya duduknya, Evan terus menatap lekat Camellia dan Leofric. Ia geram saat melihat kemesraan yang dilakukan Leofric untuk Camellia. Lelaki itu seperti sengaja untuk pamer kepada dirinya.

'Sial!' umpat Evan sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat di atas paha.

Penyesalan terbesar dalam hidupnya telah menyia-nyiakan perempuan yang ia cintai. Dan sekarang setelah perempuan itu tidak bersamanya, rasa kehilangan begitu terasa. Kesadaran diri jika Camellia sangat berarti, mulai menggerogoti hati.

'Aku bisa mendapatkannya lagi. Pasti bisa!' tekadnya sambil memikirkan cara dari kakaknya, untuk bisa mendapatkan hati mantan.

"Permisi, Tuan. Ini kursinya."

Leofric langsung menoleh ke sumber suara. "Oh, terima kasih," ucapnya kepada pelayan tersebut. Ia mengambil alih kursi, dan dibantu sang pelayan untuk menempatkan kursinya tepat di sebelah Camellia. Tak berjarak.

Sambil mendaratkan bokong ke kursi, Leofric mengarahkan pandangan ke Evan lantas mengangkat sebelah sudut bibirnya. Tentu saja akan pamer kepada lelaki yang masih menatapnya tajam. Pertunjukan selanjutnya yang akan ia perlihatkan kepada lelaki itu, merengkuh Camellia dari samping dan mesra.

Benar saja. Evan yang melihat, langsung dibuat sesak dada. Tubuh terasa panas dingin seketika. Saat merasakan leher berasa tercekik, ia langsung mengendorkan ikatan dasi.

"Evan masih memerhatikan kita," bisik Leofric, tepat di sebelah telinga kanan Camellia.

Perempuan itu akan bergerak mengecek, tapi langsung ditahan Leofric dengan menangkup sebelah wajahnya dan menghadapkan ke arah lelaki itu.

Voice in the Violin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang