Empat Belas

1K 271 20
                                    

Dalam perjalanan kembali ke rumah keluarga Wisesa, Kay tetap merasa tidak tenang. Dia terdiam, sementara Bang Chakra terus menoleh ke arahnya. "Kay, tenang. " Ucap Bang Chakra. "Ini semuanya bukan salah kamu. Nggak usah terlalu kepikiran, oke?"

Kay menoleh ke arah Bang Chakra. Raut wajahnya menyatakan dengan jelas apa yang ada di dalam hatinya. Perasaan bersalah. "Coba kalau saya lebih disiplin ingetin Vidia untuk jangan lupa makan. Dia juga pasti makan yang pedes- pedes padahal jarang sarapan. Pasti dia juga sering begadang."

"Sagara gaji kamu buat ngurusin Dio," Bang Chakra tetap menenangkan, "bukan buat ngawasin orang- orang yang sudah seharusnya bisa jaga diri sendiri."

"Tapi... "

"Please don't be a pleasers people, Kay. Apa yang kamu lakuin udah lebih dari cukup. Oke. Jangan salahin diri sendiri. Nggak baik buat mental kamu. Bukannya seharusnya kamu ngerti itu ya? Kamu kan kuliah psikologi."

Kayana kemudian hanya bisa membisu hingga mobil yang mereka tumpangi tiba di rumah.

***

"Gimana kabar Mbak Vidia, Neng?"

"Vidia kena usus buntu, Mbak. Tapi kalau udah dioperasi pasti sembuh kok." Jawab Kay sembari melangkah cepat ke dalam rumah. Didapatinya Dio sedang duduk menonton televisi padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Seharusnya Dio sudah naik ke kamar.

"Owalah, Mbak Vidia, Mbak Vidia! Begitu kalau susah banget disuruh makan. Sudah begitu hobinya itu lho makan pedas terus. Jarang mau sarapan. Sukanya pasti begadang. Saya pernah dengar Mbak Vidia jerit- jerit jam satu malam. Neriakin laki- laki dari laptopnya gitu. Saya suka nggak ngerti dengan tingkah anak muda zaman sekarang." Mbak Tina terus mencerocos. Kay yang tadinya ingin membawa Dio ke kamar jadi tertunda karena selalu disela- sela Mbak Tina.

"Dio jam segini kok masih nonton TV? Seharusnya kan sudah siap- siap tidur. Ayo cuci tangan sama kaki. Trus sikat gigi. Habis itu Mbak Kay bacain cerita."

"Dio takut Mbak Kay," bocah itu seketika memeluk pinggang Kay. Matanya yang bulat memang tampak berkaca-kaca. "Mbak Vidia kenapa?"

"Mbak Vidia sakit," Kay berjongkok. Kini wajahnya sejajar dengan Dio. "Nanti pasti cepat sembuh."

"Dio boleh jenguk?"

"Rumah sakit itu banyak virus. Tiga hari lagi Mbak Vidia pasti sudah pulang. Sekarang Dio harus naik ya, Sayang. Nanti Dio sakit, oke. "

"Mbak Kay temenin Dio tapi?"

Kay hanya mengangguk sembari membelai kepala bocah itu. Kemudian menuntunnya ke kamar. Membantunya untuk sikat gigi. Cuci tangan dan kaki lalu menyiapkan piama.

Setelah mengganti pakaian dengan piama tidur yang nyaman, bocah itu sibuk memilih buku yang ingin dibaca Kay untuknya. Dia memilih fabel Aesop. Kay kemudian mulai menyelimuti tubuh Dio, mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang lebih temaram, tapi cukup terang untuk membaca. Baru beberapa lembar, Dio sudah terbang ke alam mimpi.

Begitu melihat bocah itu terlelap, Kay menutup buku bersampul tebal edisi kolektor itu. Ia membungkuk untuk mencium kepala dan dahi Dio. Dia tahu, dirinya terlalu emosional. Kay sadar dirinya akan menggali lubangnya sendiri. Kedekatan emosional yang ia jalin dengan anak asuhnya suatu saat akan menyulitkannya. Terutama jika Kay berniat untuk pergi dari rumah itu.

***

"Beneran Vidia masuk rumah sakit, Mbak?" suara Bayu memang terdengar tenang di telinga Kay, tapi rasanya seolah-olah penuh dengan penekanan.

Bayu cukup dekat dengan Vidia. Meski seringnya mereka ribut- ribut. Bayu sebagai kakak, selalu berbuat iseng dan jail pada adiknya. Hal itu sangat wajar. Mencerminkan kerukunan antara kakak beradik. Malah kalau hubungan persaudaraan tidak diwarnai oleh pertengkaran kecil- kecilan, rasanya seperti ada yang kurang.

 Sweet HomeWhere stories live. Discover now