Tiga Puluh Tujuh

2K 352 26
                                    

Sebenarnya Kay sendiri tidak tahu. Apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Ia merasa bahwa pertemuannya dengan Sabda kali ini berbeda.

Lelaki itu tetap tidak berubah. Tetap sinis dan semakin menyebalkan. Entah itu karena pengaruh umur atau apa. Namun bagi Kay, lelaki itu menjadi lebih sering menatapinya sepanjang mereka pergi bersama tadi.

Jujur saja, minat Kay sejauh ini hanya kepada Dio. Dia sungguh merindukan bocah itu. Setelah lima tahun tidak bertemu, Kay akhirnya bisa menuntaskan kerinduannya pada mantan anak asuhnya itu. Untungnya, Dio tidak mendendam pada Kay, karena gadis itu meninggalkannya begitu saja tanpa pamitan. Namun, sore tadi menjadi salah satu momen yang paling membahagiakan dalam hidup Kay selama lima tahun ini.

Dia pikir, setelah meninggalkan Jakarta dan kehidupannya di kota megapolitan itu, Kay tidak akan pernah lagi bertemu atau bersinggungan dengan masa lalunya. Meski begitu setiap malam terkadang masih selalu membayangkan bagaimana bila suatu saat dia kembali dipertemukan dengan Dio?

Ah, Dio. Bocah itu tetap selucu yang Kay ingat. Walau sekarang ini ia bertambah dewasa, namun wajahnya masih mempertahankan gurat kekanakan yang selalu Kay rindukan itu.

Rambutnya pastilah sangat keriting kalau saja tidak dipotong dan dirapikan dengan gel. Kay bahkan masih bisa menangkap aroma lembut bedak bayi yang dulu selalu dipakai Dio ketika sehabis mandi. Setiap pagi dan sore. Sehingga ketika Mas Arik akhirnya menikah awal tahun ini dan memiliki seorang bayi, Kay selalu keranjingan menghidu aroma bayi perempuan kakaknya yang bernama Selina itu.

Seperti yang dilakukannya malam ini. Alih-alih pulang ke rumah orangtuanya, Kay malah menghentikan mobilnya di depan rumah yang dibeli oleh Mas Arik dua tahun sebelum menikah dengan Mbak Riana.

Rumah itu terletak tidak jauh dari orangtuanya. Hanya berjarak tiga rumah. Lampu ruang tamu masih menyala saat Kay mampir dan langsung menanyakan keponakannya. "Mana si Jeli, Mbak?!" Kay celingukan mencari keponakan yang biasanya heboh berteriak-teriak, mengoceh di ruang tengah.

"Sudah tidur. " Jawab Mbak Riana yang kini tengah membersihkan meja. Sepertinya baru ada tamu yang datang. Karena biasanya jam sembilan rumah itu sudah gelap. "Mas Arik?"

"Ke rumah Mama tuh. Nganterin pisang. Tadi ada Panji bareng Harris ke sini."

"Oh," Kay manggut-manggut. Panji adalah adik kandung Mbak Riana, sementara Harris adalah sepupunya.

"Nanti masmu mau ngomong, Kay. Tapi di sini aja. Jangan di rumah. "

Muka Kay langsung lesu. Dia tahu apa yang akan disampaikan oleh kakak sulungnya itu. Kay langsung berderap ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur spring bed yang sengaja diletakkan di ruangan tersebut.

Ruang tengah rumah itu memang lebih luas. Di situ menjadi pusat kegiatan keluarga ini. Ada televisi plasma 42 inci yang menempel di dinding beserta stereonya. Lalu sofa bed yang terletak di dekat jendela, kasur spring bed ukuran King, lalu partisi setinggi lutut orang dewasa yang dilengkapi pintu. Kemudian ada area setrika dengan tumpukan baju yang menggunung.

Mbak Riana membuka laundry di rumah tersebut. Dan meski mempunyai dua orang pegawai, kakak ipar Kay itu tetap turun tangan sendiri. Walau hanya membantu menyetrika atau melipat pakaian. Kadang kala dia juga membantu di pabrik ketika dibutuhkan.

Soal Mas Arik yang mau ngomong, sebenarnya Kay sudah curiga jauh-jauh hari. Pasalnya, sepupu Mbak Riana itu sudah empat kali bertandang ke sini. Bahkan sempat mampir ke rumah orangtuanya Kay juga. Caranya menatap Kay pun selalu penuh maksud.

Hingga detik ini, kesendirian Kay bukanlah masalah besar baginya. Ia tidak terlalu ingin cepat- cepat menikah. Dia masih menikmati pekerjaannya. Masih menikmati enaknya punya pekerjaan dan membelanjakan uang hasil banting tulang menjadi staff HRD selama dua tahun belakangan ini. Menikah akan membuatnya mau tak mau membatasi aktifitasnya. Sama dengan yang terjadi dengan ibunya atau Mbak Riana.

 Sweet HomeWhere stories live. Discover now