Tiga Puluh Sembilan

1.3K 342 40
                                    

Kayana akhirnya melihat-lihat toko furnitur yang dibicarakan oleh adiknya. Mount of Glory nama toko itu.

Interior tokonya terasa hangat. Dengan dominasi warna-warni alam dan ditata dengan apik. Alunan musik ceria membuat suasananya semakin mendukung. Tatapan mata Kay langsung tertuju pada kursi club yang terbuat dari rotan. Kursi itu kemungkinan bisa ia letakkan di kamarnya untuk membaca buku. "Kamu suka furnitur unik ya?" tiba-tiba suara berat Harris sudah berada dekat sekali dengan indera pendengarannya. Gadis itu terkejut, mendapati posisi Harris yang begitu dekat di belakang tubuhnya.

"Ah," Kay berseru, " enggak juga. Cuma tertarik sama kursi ini. " tangannya mengelus bagian punggung kursi. "Kayaknya enak banget buat baca. "

"Kamu mau beli?"

"Cuma lihat-lihat saja, kok. Belum minat beli." Kay tersipu-sipu. Semoga saja Harris tidak menyangka bahwa Kayana sedang memberikan kode buat minta dibelikan kursi tersebut. Karena kalau iya, duh, Kay pasti bakal malu sekali.

"Tapi aku masih punya ottoman di kamar,"

"Ottoman bisa kamu kasih ke adik kamu. Kalau mau, aku beli buat kamu. Buat hadiah."

Mata Kay serta-merta membulat. "Lho, nggak usah Mas. Aku beneran belum butuh kok," aduh celaka, Kay membatin. Dia tidak mau, belum-belum sudah berhutang budi sama lelaki ini.

Kay panik. Kemudian matanya menangkap area utama di tengah-tengah showroom tersebut. Satu set ranjang berwarna ungu Lilac yang tampak lucu. Mungkin itu yang dimaksud Rara tadi.

Kay kemudian melangkah mendekati satu set ranjang, meja rias, lemari, kursi beserta nakas dan meja belajar yang dibuat dalam satu warna yang serasi. Kay terpesona. Ini mungkin adalah impian gadis berusia enam tahun. Sebuah kamar yang cantik.

"Yang ini ... bukannya terlalu..."

Kay tergelak canggung. "Iya sih. Kayak buat anak-anak gitu kan? Tapi dulu sewaktu aku masih enam tahun, selalu pengin punya yang seperti ini." Ujarnya. Lalu menoleh ke arah Harris. "Impian kanak-kanak."

Harris tersenyum saja. Ia mengawasi Kay, sambil berdiri dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celananya.

"Ya udah, pulang yuk. " Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tujuh. Lama juga mereka berkeliling di tempat ini. Padahal, sepertinya baru saja mereka ke luar dari restoran, kemudian mampir sebentar ke toko pakaian karena Harris ingin mencari kemeja batik, lalu mampir ke toko furnitur tersebut.

Eh, tahu-tahu sudah jam tujuh saja.

"Yakin mau pulang sekarang?"

"Mbak Kay!"

Kayana menoleh mencari asal sumber suara. Matanya menemukan Dio dalam balutan kaus warna abu-abu dan celana panjang warna cokelat. Di belakangnya, berdiri Sabda.

Tapi perhatian Kay tertuju pada Dio. "Eh, Dio..." Ragu-ragu, Kay membalas seruan bocah itu. Dia merasa tidak enak dengan Harris yang kentara sekali merasa kebingungan. Bertanya-tanya tentang siapakah anak kecil yang memanggil Kay barusan.

Dio berjalan cepat menghampiri gadis itu. Kay menyongsong beberapa langkah. Tubuh Dio yang gempal menubruk Kay, membuat gadis itu nyaris terguling, namun ia malah tertawa-tawa. "Kok di sini?"

"Ini tempat Abang,"

"Hah?"

"Ini siapa, Kay?"

"Oh..." Kay bingung mau menjawab apa. "Ini ... engg ... itu ceritanya panjang."

Tanpa disadari Kay, dari kejauhan, Sabda menatapnya dengan lekat. Dia tahu, dia akan kalah langkah. Tapi dia tidak ingin menyerah sekarang. Hari ini dia memutuskan untuk mendapatkan Kay. Entah bagaimana pun caranya. Sabda kemudian mendekati mereka.

 Sweet HomeWhere stories live. Discover now