Setelah hari itu, Albiru mulai sering bertemu dengan orang-orang yang dikumpulkan oleh Khail dan Zennaya. Albiru juga sudah mengenal nama-nama mereka. Laki-laki yang dihari pertemuan mengemut permen dan memiliki perawakan berandal, bernama Gilvano Ezan Shankara, dipanggil Gil. Laki-laki yang memakai seragam putih biru, bernama Fabil Dipta Bahran. Laki-laki yang sibuk dengan ponsel dan sangat pendiam, bernama Ardyaz Geo Byantara, dipanggil Dyaz. Gadis berkucir dua yang nampak tidak acuh, bernama Glisa Cherika Shakalya. Dan gadis berwajah sangat cantik yang sempat membuat Albiru merasa malu ketika menatapnya, bernama Namiera Argani Havya, dipanggil Nami.
Albiru juga mendapati informasi terbaru bahwa sebenarnya Khail dan Namiera sudah saling mengenal sejak mereka kecil, tetapi mereka tidak memiliki kesempatan satu sekolah. Mungkin saat SMA inilah kesempatan mereka menjadi teman sekolah.
Pertemuan-pertemuan mereka berdelapan selanjutnya selalu di tempat yang sama seperti sebelumnya. Di restoran mewah dan di ruangan VIP. Di sana mereka melakukan kegiatan belajar, membaca buku, mengerjakan soal, dan saling menyuarakan pendapat tentang jawaban yang menurut mereka benar. Di luar restoran mewah ruangan VIP, tidak pernah ada pertemuan lain yang mempertemukan mereka.
Kemudian, tanpa terasa waktu terus berlalu dengan cepat, sampai akhirnya mereka akan melaksanakan ujian masuk Imperium School esok hari.
"Ada yang satu ruangan buat ujian besok?" pertanyaan yang Albiru lontarkan bagaikan lagu tambahan di tengah ruangan yang sedang diselimuti instrumen 'Symphony No. 40 in G Minor' karya Wolfgang Amadeus Mozart.
Khail yang pertama kali mengangkat kepalanya, menatap Albiru. Kaca mata yang biasa ia kenakan ketika belajar atau membaca agak turun sehingga harus ia naikan dengan ujung jari telunjuknya. "Gue di ruangan dua."
"Gue juga ruang dua," Ardyaz ikut berbicara.
"Gue ruangan tiga," ungkap Fabil.
"Sama," sahut Gilvano malas.
"Gue ruang empat. Ada yang sama kayak gue?" Albiru menunjuk dirinya sendiri dengan semangat, berharap bisa satu kelas dengan orang yang dikenal.
Tidak ada yang bersuara. Albiru mulai memfokuskan sorot matanya mengitari orang-orang di dalam ruangan. Setiap kali sorot mata Albiru menabrak netra mereka, mereka menggelengkan kepala sebagai jawaban. Mendapati tidak ada yang satu kelas dengannya, Albiru mengembuskan napas kecewa.
"Kenapa lo keliatan kecewa cuma gara-gara nggak ada yang sekelas sama lo?" tanya Zennaya seraya tersenyum mengejek, lalu melepaskan kaca mata belajar dan bacanya untuk diletakkan di atas buku tulis yang terbuka.
"Seenggaknya pasti nggak canggung banget kalau ada orang yang gue kenal," jawab Albiru. Bersandar lemas pada punggung kursi.
"Apa bedanya? Tetap ngerjain ujian masing-masing tanpa nyontek," sahut Fabil.
"Nggak, nggak, lo salah." Albiru menggeleng sembari melambaikan tangan. "Nih, ya, kalau misalkan gue satu kelas sama salah satu dari kalian seenggaknya waktu gue liat kalian duduk di dekat gue, gue ngerasa tenang karena nggak berjuang sendiri!" Albiru mengepalkan satu tangannya dengan semangat dan optimis.
"Oh, gue kayaknya paham sedikit maksud lo. Kalau ada di antara kita yang sekelas, sebelum mulai ujian seenggaknya kita bisa ngobrol bareng." Namiera berusaha memahami perasaan melankolis Albiru.
Albiru menjentikkan jarinya, senang ada yang memahami dirinya. "Itu salah satu alasannya! Coba lo bayangin harus satu kelas sama orang nggak lo kenal. Pasti canggung dan bikin suasana hati yang udah tegang makin tegang."
"Kenapa harus dipikirin seribet itu? Lo tinggal nyamperin ke kelas kita aja," sahut Glisa dengan enteng.
"Bagus! Gue ada ide. Sebelum ujian mulai. Kalian semua ke kelas gue." Gilvano menunjuk mereka semua sembari tersenyum tengil.
YOU ARE READING
Hetairoi : The King of Imperium School
Teen FictionSeri Ke-2 dari The King: Battle of Imperium School ________________________________________________ Hetairoi yang bagaikan angin monsun membawa perubahan besar pada sistem Imperium School; entah untuk mendatangkan bencana atau keagungan. Hetairoi me...