BAB 2: INITIATE THE PLAN

170 22 2
                                    

“Lo yakin nolak ajakan gue?”

Laki-laki berseragam putih abu dilapis jaket denim itu masih terus bertanya kepada gadis yang mengenakan seragam putih biru. Seolah meyakinkan indra pendengarannya mengenai fakta bahwa ia baru saja ditolak oleh seorang gadis, untuk pertama kalinya. Terlebih lagi gadis itu hanya siswi SMP.

Tentu saja anak laki-laki itu tidak terima.

“Lo budek?” Tetapi balasan dari si gadis kembali membuat harga dirinya seakan diinjak-injak. “Gue nolak. Nggak ada untungnya buat gue jalan sama manusia kayak lo.”

“Lo?!”

“Udah untung gue masih nyebut lo manusia,” lanjut Zennaya dengan seringai tipisnya. Menikmati raut marah yang tercetak jelas pada air wajah laki-laki di depannya, bahkan tangan laki-laki itu sampai mengepal kuat di samping celana.

Kejadian ini sangat membuang waktu Zennaya, ketika ia seharusnya lekas menemui Khail dan Albiru yang mungkin saja sudah menunggunya di The Library Cafe untuk belajar. Biasanya, mereka bertiga akan pergi bersama ke tempat yang akan mereka tuju. Namun, karena Zennaya memiliki urusan yang harus diselesaikan lebih dulu dengan salah satu guru, ia memutuskan untuk berangkat terpisah, menyusul Khail dan Albiru jika urusannya sudah selesai.

Ketika Zennaya keluar dari gerbang sekolah dan berbelok ke arah trotoar kanan, satu laki-laki dengan seragam putih abunya langsung menghadang, menarik Zennaya ke dalam gang. Laki-laki ini sudah menunggu Zennaya dari tiga puluh menit yang lalu demi mengajak Zennaya berkencan dan ingin menjadikannya sebagai pacar. Zennaya memang cukup populer di kalangan sekolahnya dan anak SMA yang dekat dari sekolah SMP nya.

Tangan Zennaya lekas dicengkeram kuat ketika ia hendak melangkahkan kakinya meninggalkan laki-laki asing itu. Zennaya refleks menghempaskannya, tetapi tidak berhasil.

“Cewek lemah kayak lo nggak bakal bisa lepas gitu aja dari gue,” ejeknya dengan wajah sok superior, seakan sebagai laki-laki ia merasa paling kuat dan menganggap perempuan itu makhluk lemah yang tidak bisa apa-apa.

“Gue nggak suka kalau bawa-bawa gender.” Zennaya tersenyum manis, tetapi malah berhasil membuat laki-laki itu merinding.

Tanpa basa-basi, Zennaya membalikkan keadaan dengan cepat, mencengkeram balik lengan laki-laki itu dan memutarnya sampai ia bisa menempatkan kedua tangan si laki-laki dibalik punggungnya, mendorong dan menekannya pada tembok kotor di gang.

“Sialan! Lepasin gue!” maki si laki-laki, tidak terima dikalahkan oleh Zennaya.

“Lo pikir gue nggak bakal bisa ngelawan, ya?”

“Cewek cantik kayak lo biasanya juga bergantung sama cowok! Jadi jangan sok superior!”

Zennaya tersenyum. “Sayangnya, gue bukan tuan putri yang nunggu diselametin pangeran berkuda putih. Gue adalah ratu yang maju langsung ke pertempuran untuk menebas kepala lawan pake pedang gue sendiri.”

👑👑👑

“Nggak,” jawab Khail. “Gue nggak pernah nonton filmnya. Tapi gue tau isi ceritanya.”

Albiru menopang dagu dengan tangannya, di mulutnya menggantung Choki-Choki, sementara tangan lainnya membuka-buka lembar buku cerita bergambar yang ia temukan dari rak buku secara acak. Ilustrasi Cinderella tercetak jelas pada cover bukunya. Ia jadi teringat seseorang yang sangat suka menonton kartun seperti ini, bahkan menonton hampir semua film keluaran Walt Disney saat masih kecil.

“Kenapa? Kayaknya semua anak kecil, minimal satu kali dalam hidup mereka pernah nonton film atau baca cerita ini.” Albiru menatap ke arah Khail, mengangkat buku cerita Cinderella yang khas dengan sepatu kacanya.

Hetairoi : The King of Imperium School Where stories live. Discover now