Dream

517 31 3
                                    

Tok tok tok

"Masuk"

Ceklek

"Lagi sibuk nggak, bro?"tanya Mark setelah berhasil duduk di hadapan rekan nya.
"Enggak sih. Kenapa?"
"Gue ada pasien, cuma kayak nya Lo bisa deh tanganin dia. Mau nggak?"
"Kenapa emang?"
"Depresi. Kasian banget"
"Gue kan bukan psikolog, bang"
"Kaki nya lumpuh, enggak permanen sih"terang Mark.
"Terus?"
"Dia dancer"
"Anjing. Rasanya mau mati itu, bang. Separuh nyawa nya"gumam Jaemin.
"Dan gue minta tolong sama Lo buat nanganin dia. Bisa nggak? Lo tau sendiri gue kurang sabar, gue takut malah nyinggung dia atau salah ngomong nanti nya"

Jaemin terlihat berpikir beberapa saat sebelum membaca map yang berisi data dari pasien yang Mark maksud. 18 tahun. Masih terlalu muda untuk menghadapi hal seberat ini.

"Gue ambil alih deh, bang. Nggapapa"kata Jaemin setelah merenung beberapa saat.
"Beneran? Thank you banget ya. Gue nggak tau mau lari kemana lagi kalo Lo nolak"
"Santai, bang. Mulai kapan nih gue ketemu nya?"
"Minggu depan"
"Oke deh. Ini doang kan?"
"Iya. Lain nya gue masih sanggup handle. Kalo gitu gue cabut ya? Masih ada 2 pasien lagi"pamit Mark.

Jaemin mengangguk sebelum Mark menutup pintu ruangannya. Ia tatap lagi data diri calon pasien nya itu lalu menghela nafas berat.

"Ayo bangkit lagi, Seo Donghyuck"gumam Jaemin.
.
.
.
Siang ini Jaemin menyambut kedatangan pasien yang Mark oper padanya minggu lalu. Ia tatap sosok manis yang hanya diam di atas kursi roda nya tanpa mau menatap ke arah manapun. Anak itu datang bersama sang ibu yang sejak tadi sangat bersabar mengajak Donghyuck berbicara meskipun balasannya kadang sangat singkat.

"Selamat siang, Donghyuck. Perkenalkan saya dokter Na, yang akan mendampingi kamu selama terapi"sapa Jaemin dengan suara lembut.
"Siang, dokter Na"sapa Donghyuck dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan.
"Hari ini mau langsung terapi atau mau lihat-lihat ruangan terapi dulu?"tawar Jaemin.
"Terserah saja"
"Sayang, mau Mae temani atau tidak?"
"Mae tunggu di kantin aja. Mae belum sarapan kan? Makan dulu, Mae"

Sosok manis yang lebih tua tersenyum sembari mengangguk. Ibu Donghyuck bersimpuh di depan kursi roda sang anak sembari mengusap jemari kecil sang anak.

"Dek, Mae akan temenin adek sampe sembuh. Sabar ya? Kita bisa hadapi ini bareng-bareng kok. Inget kalo bentar lagi papa pulang. Kerjaan papa hampir selesai, sayang"ujar Ten pada anaknya.
"Iya, Mae. Makasih ya karna mau adek repotin. Kalo papa pulang nanti Mae nggak akan kesusahan ngurus adek. Ada papa juga. Iya kan?"
"Adek enggak ngerepotin tapi kita berdua bisa repotin papa deh"

Donghyuck tertawa kecil. Ia tatap wajah ibu nya yang sangat ia tau tengah mencoba tabah di dihadapannya.

"Mae ke kantin ya? Kalo udah selesai nanti adek telpon Mae aja. Oke?"
"Iya, Mae"

Ten berpamitan pada Jaemin untuk keluar ruangan setelah menitipkan anaknya pada sang dokter. Jaemin mengambil alih kursi roda Donghyuck lalu membawa anak itu untuk berkeliling melihat seluruh ruangan terapi.

"Dok, nanti aku harus pake semua alat nya?"tanya Donghyuck setelah hening sangat lama.
"Enggak dong. Kita fokus sama kaki kamu aja, semuanya baik kok"
"Cuma kaki ku aja yang cacat ya?"lirih Donghyuck.
"Kamu bisa sembuh, Donghyuck"
"Tapi aku nggak bisa nari lagi"

Jaemin diam. Ia tau bagaimana rasanya melepaskan mimpi nya karna seperti ini. Dia juga mengalami nya. Ia di tidak bisa meneruskan mimpi nya menjadi atlet renang karna cedera punggung yang cukup parah karna terjatuh dari tangga sekolah nya dulu.

"Dunia nggak adil ya, Hyuck? Kenapa kita yang punya tekad besar justru di paksa berhenti karna keadaan. Rasanya buat nafas aja sakit. Iya kan?"

Donghyuck tak menjawab namun ia menatap Jaemin yang duduk di sebelah nya. Mata lelaki itu terlihat berkaca-kaca.

Echanie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang