CHAPTER 49 - PUZZLING

499 34 0
                                    

Aku tahu ini membingungkan, dan aku juga nggak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Dulu, aku yang memintanya untuk tetap bertahan dengan Indira. Tapi sekarang, ketika ada kesempatan baginya untuk bercerai, aku malah mengharapkannya menceraikan wanita itu.

Poinnya gini, dalam beberapa hari belakangan, aku sudah di posisi kangen dengan Mas Andra. Dia adalah sosok yang dewasa dan selalu bisa memenuhi segala kebutuhanku. Aku sudah menaruh hati dengannya. Tapi mungkin saat itu aku masih labil dan nggak paham bagaimana rasanya mengatasi sakit hati karena diputusin. Akhirnya, aku jadi merasa sedih dan kebingungan.

Break, apapun itu namanya, menurutku sama aja dengan breakup. Ujung-ujungnya pasti bakal putus juga. Mungkin saat itu dia cuma menghaluskan kata-katanya supaya nggak menyakiti hatiku. Walau kenyataannya, itu tetap menyakiti hatiku.

Dan lagi, buat apa break kalau aku nggak bisa menghubunginya lagi, bertatap muka dengannya lagi, atau memadu kasih dengannya? Walaupun nafkahnya terus mengalir ke rekeningku, rasanya tetap kurang tanpa kehadiran Mas Andra di sisiku.

AH!

Rasanya saat itu aku ingin berteriak. Kebetulan hari itu, beberapa hari setelah kejadian itu, aku menghadiri kompetisi renang yang diikuti Marvel. Aku masih nggak nyangka, "motivasi" yang kuberikan padanya berdampak besar pada pemulihannya. Marvel berenang begitu cepat, membalap setiap peserta yang ikut kompetisi itu.

Satu hal yang nggak kusangka, ternyata ada juga peminat yang suka menonton cabang olahraga ini. Aku berada di tengah kerumunan penonton yang mendukung tim sekolah mereka masing-masing. Dan bodohnya, aku malah berada di area penonton sekolah lain, sementara supporter sekolahku ada di tribun yang lain.

Aku juga bingung, kenapa aku akhirnya menonton pertandingan itu. Buat lihat Marvel? Atau membuka hatiku untuknya? Entahlah. Yang jelas, saat itu aku masih diselimuti rasa galau atas hubunganku dengan Mas Andra. Seolah kali ini, aku nggak mau menyelesaikan semuanya dengan "pengalihan" seperti biasanya. Bahkan, ketika beberapa budakku mengajakku bermain, aku tolak semua. Aku lagi nggak mood. Jangankan pada mereka, ke Abangku pun aku begitu.

Tapi parahnya, waktu Abang tahu kalau Mas Andra bilang putus, dia malah memintaku tetap berusaha mempertahankan hubungan itu. Alasannya? Bukan karena perasaanku, tapi demi kepentingannya sendiri. Aku tahu, posisi Abang di sekolah sudah rawan untuk dikeluarkan. Dengan segala perbuatannya—sampai terakhir kali masuk kantor polisi—yang jelas mencoreng nama baik sekolah, kalau nggak ada aku yang memerintahkan Mas Andra membantunya, dia mungkin sudah dikeluarkan.

Dan dari situ, aku perlahan menyadari kalau selama ini dia sering memanfaatkanku. Padahal aku sedang sedih, tapi dia tetap santai, bahkan tenang, sambil terus memintaku mempertahankan Mas Andra. Parahnya lagi, dia sering membandingkan dirinya dengan Mas Andra seolah ingin membujukku dengan cara itu. Aku muak.

Mungkin itu sebabnya aku ada di tempat itu. Padahal aku nggak ngerti aturan main kompetisi itu. Aku cuma menikmati jalannya pertandingan saja. Bahkan ketika banyak orang bersorak, aku ikut bersorak. Nggak ada tujuan, cuma mau menghindari para budakku di sekolah untuk sementara waktu. Walau beberapa dari mereka menuntutku melayani mereka setelah aku bolos sekolah hari itu, salah satunya ya Pak Bambi.

Gemuruh di bangku penonton kembali bergema ke seluruh gedung tempat kompetisi renang itu berlangsung. Marvel terlihat berada di urutan kedua kali ini. Dia tampak kesal, terlihat dari caranya menampar air untuk melampiaskan kekesalannya. Entah kenapa, aku malah tersenyum geli melihat kemarahannya itu. Lucu aja. Nggak ada sebabnya.

Marvel sebenarnya tahu aku datang menonton, tapi dia nggak tahu di mana aku berada. Dia sempat melihat ke arah kerumunan penonton, seolah mencariku. Tapi akhirnya dia menyerah dan memilih kembali ke bangku timnya, menjauh dari kolam.

BOBIN: The HarlotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang