Helisma dan Fiony berjalan beriringan menyusuri lorong istana yang sepi di pagi yang dingin. Udara pagi yang sejuk seolah menyerap sisa-sisa kehangatan dari dinding batu yang membentang di sepanjang lorong. Ritme langkah mereka berdua menciptakan irama yang teratur, bergema samar di antara dinding-dinding batu yang tinggi.
Obor-obor yang baru saja dimatikan masih mengepulkan asap tipis, meninggalkan aroma kayu terbakar yang bercampur dengan udara pagi yang segar. Obor-obor itu berbaris rapi di sepanjang dinding, seperti barisan penjaga bisu yang menyaksikan perjalanan kerajaan mereka. Cahaya matahari pagi yang lembut mulai merayap masuk melalui jendela-jendela kecil di atas, memantulkan kilauan samar di lantai batu yang dingin.
Fiony, yang biasanya penuh percaya diri, kini tampak sedikit canggung. Pikirannya masih dipenuhi oleh momen yang baru saja terjadi, membuatnya sulit untuk fokus.
Merasa tidak nyaman dengan keheningan yang membentang di antara mereka, Fiony memutuskan untuk berbicara. "Helisma."
Helisma menoleh sedikit, meski tetap melangkah dengan tenang. "Ya?"
"Bagaimana keadaan Pangeran Ariel?"
"Dia baik-baik saja. Zirah Pangeran Ariel benar-benar kuat, ditambah kemampuan berpedangnya yang hebat turut melindunginya dari serangan iblis-iblis itu." Jawab Helisma, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang mungkin dirasakan Fiony.
"Begitu ya..." Fiony tampak merenung sejenak. "Ku kira cukup parah, soalnya dia sehari semalam penuh di rumahmu."
Helisma tersentak mendengar kata-kata itu. Wajahnya sedikit memerah. "Eh, t-tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Fiony," jawabnya dengan nada sedikit gugup, mencoba menutupi perasaan yang muncul.
Fiony hanya tersenyum tipis melihat reaksi Helisma. Dia menghentikan langkahnya ketika mereka tiba di depan sebuah pintu besar yang dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit. Ukiran itu menggambarkan cerita lama tentang pahlawan Valerian, sebuah simbol kekuatan dan keberanian yang selalu mereka junjung tinggi.
"Nah, kita sudah sampai," ucap Fiony sambil melirik ke arah dua penjaga bersenjata yang berdiri kokoh di depan pintu. Kedua penjaga itu segera membungkukkan badan sebagai penghormatan ketika Fiony dan Helisma mendekat.
"Pergilah," perintah Fiony dengan tenang namun tegas. Kedua penjaga itu memberi hormat lalu pergi, zirah mereka berderak pelan saat mereka bergerak.
Fiony kemudian bergumam pelan, melafalkan mantra dalam bahasa kuno. Pintu besar itu perlahan menyala, garis-garis ukiran di permukaannya bersinar dengan cahaya magis sebelum pintu itu terbuka dengan lembut, mengungkapkan ruangan yang penuh dengan aura tenang namun penuh ketidakpastian.
Di dalam ruangan, sebuah ranjang besar dengan kanopi megah terlihat. Di atasnya, dua sosok terbaring tak bergerak—Kathrina dan Andaress. Wajah mereka tampak damai, seolah hanya terlelap dalam tidur yang panjang.
Mata Helisma mulai berkaca-kaca saat melihat dua orang yang sangat ia cintai berada dalam kondisi seperti itu. Dia mendekati ranjang dengan langkah pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Emosi yang ia coba tahan selama ini mulai menguasai dirinya, membuat hatinya terasa berat.
"Bagaimana keadaan mereka berdua?" tanya Helisma dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
Fiony melangkah maju, berdiri di samping Helisma. "Untuk Kathrina, aku membiarkannya saja... seluruh waktu pada organnya benar-benar berhenti." Fiony berbicara dengan lembut, seperti menenangkan sahabatnya.
"Sedangkan Andaress," lanjutnya, "aku menggunakan sihir untuk tetap memberikan nutrisi pada tubuhnya. Sejatinya dia masih hidup, meski jiwanya berada di dunia lain. Semua organ tubuhnya tetap harus bekerja untuk wadah saat jiwanya kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfiction(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."