2012, di timur Sulawesi.
Apa yang lebih buruk dari malam gelap gulita dengan awan kelabu yang membumbui langit. Pekatnya langit yang nyaris menumpahkan air itu tidak lebih buruk dari perasaan Kinara saat ini. Padahal ia sudah berlari lebih jauh namun kenangan 3 tahun yang lalu selalu menyeretnya kembali pada masa di mana ia merengkuh gundukan tanah dalam kegamangan. Kala itu usianya memang masih sangat belia tapi ia sudah mengerti getirnya kehilangan.
Sahabatnya kini mungkin berada di antara bintang-bintang yang ditutupi awan, namun semangat, dan ketangguhannya menghadapi dunia masih lekat di hati Kinara. Ia hanya tak habis pikir dengan cara kerja semesta pada hidup Ayu. Bayangan Ayu yang tergeletak bersimbah darah membuat Kinara tengadah ke langit untuk kemudian memaki dengan nada paling jahat.
"Harusnya kamu nggak usah ngapa-ngapain kalo ujungnya akan kaya gini." Bisik Kinara pada hatinya.
Demi takdir yang sudah mengatur segalanya, aturlah semaumu, aturlah seenak jidatmu, Kinara iya-iya saja, Kinara terima-terima saja. Atas dasar takdir yang selalu membelenggu, Kinara menyerah pada hidupnya.
Seingat Mama Papanya, Kinara adalah anak yang rajin dan ceria. Tapi itu dulu, jauh sebelum Kinara kehilangan sahabatnya. Satu-satunya yang tertinggal pada diri Kinara yang sekarang adalah selera makan yang masih sama. Kinara tidak akan berkata tidak pada yang satu ini.
Mama ingat di suatu malam Kinara pernah dilarikan ke rumah sakit usai menyantap semangkuk udang masak santan pemberian Mama Irna. Aroma menggiurkan udang membuat Kinara lupa kalau ia alergi hewan air itu.
Kinara juga memiliki sejarah malas paling melegenda di sekolah. Pernah di hari senin pagi saat siswa sekolah menengah atas seharusnya mengenakan seragam putih abu-abu, Kinara asyik mematut diri di depan cermin dengan seragam pramuka SMP yang kebetulan masih muat meskipun roknya sedikit menggantung. Ia bahkan tak tahu malu untuk sampai ke sekolah dengan baju itu. Anak OSIS sampai juling memelototi dirinya dari kepala sampai ujung kaki. Ketika ditanya alasannya kenapa tidak memakai baju putih abu-abu, Kinara dengan enteng menjawab "Ada di ember, lagi direndam pake rinso dari minggu lalu". Anggota OSIS yang hendak mendisiplinkannya hari itu bergidik merinding. Maka dengan itu Kinara patut dihukum berdiri di lapangan yang terik dengan baju mentereng.
Jangan kalian pikir kalau Kinara yang pemalas itu hobinya rebahan, tidak, Meskipun tidak sepenuhnya salah tapi Kinara juga sering nimbrung dengan tetangga. Tapi betulan, Kinara ingin goleran dari pagi sampai sore namun Mama jelas tidak akan tinggal diam. Karena Kinara anak tunggal, Mama dengan semena-mena menyuruh anak itu untuk menggantikan dirinya di berbagai acara Ibu-Ibu komplek. Mulai dari arisan, hajatan, sampai barzanji di rumah tetangga yang lagi naik haji. Belum lagi kelakuan Pak RT yang notabene adalah om Kinara _kakak kandung Mama_ sering datang ke rumah dan merecoki Iparnya untuk hadir di perkumpulan Bapak-bapak, padahal ia tahu sendiri, Iparnya itu sibuk bukan main. Maka sebagai anak satu-satunya, Papa mengangsurkan kegiatan itu pada Kinara. Jadilah Kinara sering nongkrong dengan Bapak-bapak di pos ronda, sesekali jaga malam, atau ikut mancing dengan om dan antek-anteknya.
Tidak sampai disitu saja, Ibu-ibu komplek juga sering mengacaukan acara bangun siang Kinara di hari minggu yang indah. Misalnya menitipkan bayi mungilnya karena Ibu A akan ke Pasar. Ibu B minta dibantu panen sayur di kebun, yang paling ngenes minta dicarikan kutu rambut, Kinara paling anti disuruh begituan. Belum lagi Mama, mulai subuh sudah mengaum macam serigala minta dibantu mengadon kue. Kinara kesal minta ampun. Rasa-rasanya ia ingin pindah ke bulan.
Di puncak kekesalannya, anak itu menempelkan selembar kertas dengan tinta merah mentereng di pintu kamarnya. "Tante Maya, Tante Inong, Mama Irna, DILARANG MASUK !" Namun hanya berakhir ditertawakan oleh Tante- tante itu.
"Hamaa ngana ini lea. Anak parampuan itu te boleh bangun tengah hari. Nanti kalo so nikah mertua mo user dari rumah"
Begitulah kira-kira yang para Tante itu ucapkan kala membaca tulisan nyeleneh di depan pintu dan secara membabi buta menarik tubuh gadis itu dari ranjang.
Urusan jodoh itulah yang juga jadi percakapan menyebalkan Kinara pada pagi yang hampir siang di pos jaga Abang Riz _Satpam sekolah_
"Sudah punya cowok belum ?" Tanya Abang Riz. Tangan kanannya menggeser segelas kopi hitam untuk Kinara.
Sudah ritual harian Abang Riz duduk ngopi bersama Kinara di pos jaga sambil mengunyah biapong isi unti kelapa yang dibawa Kinara dari rumah. Menemani gadis yang datang terlambat itu menanti hukuman dari guru piket.
"Beloooom" jawab Kinara dengan nada kesal.
"Ada loh yang ganteng ala-ala gurun pasir."
"Unta ?"
Abang Riz tergelak, hampir keselek kopi hitam.
"Lagian mana ada yang mirip gurun pasir."
"Bukan mirip, Kinara. Tapi kalau liat dia tuh kaya pengen bilang ahlan wa sahlan, gitu loh."
"Nah, itu orangnya !" Seru Abang Riz sambil menunjuk anak laki-laki yang sedang menenteng beberapa buah buku menuju kantor.
"Oh, Rayyan." Kinara mengangguk. Menyesap kopi hitam pekat bin pahit itu. Kinara sampai meringis karena lidahnya mendadak kebas usai menyesap minuman itu.
"Pahit amat."
"Sama kaya hidup Kinara, pahit,"
"Makanya harus ditemani biapong manis biar imbang." lanjutnya lagi.
"Anak tadi, siapa namanya ?"
"Rayyan, Abang Riiiiiz."
Lelaki usia pertengahan 20 tahun itu terkekeh.
"Boleh tuh. Digaet aja, Kinara."
Kinara mendengus. Malas sekali mendengar topik yang satu ini. Jangankan menggaet lawan jenis, disuruh nonton sinetron cinta-cintaan saja Kinara mual. Mending nonton si unyil, mentok-mentok mancing mania sama opera van Java. Pokoknya Kinara fans berat Trans 7.
Di ujung sana, di balik rimbunnya tanaman pucuk merah yang tumbuh hampir sedengkul orang dewasa, Rayyan tersenyum lebar sembari melambai-lambaikan tangan ke arah Kinara.
"Eh, eh, lampu hijau, tuh." celetuk Abang Riz tambah sewot.
Dengan tampang meringis, Kinara membalas lambaian tangan itu.
"Pak ketua lagi konslet." cibir anak gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"