Siang yang cerah mendadak temaram. Awan gelap sekejap saja sudah membungkus kota. Langit mendadak kusam, persis seperti tampang Kinara. Usai bersitatap dengan Rayyan, tidak ada yang bisa Kinara dapatkan kecuali tatapan tak biasa dari anak laki-laki itu. Ternyata cara itu tidak membuat ia bisa melihat masa depan seperti kemarin. Maka dengan wajah nelangsa, Kinara tercenung seorang diri di bangku taman.
"Hai, Ra !"
Kinara menoleh pada seseorang yang datang memutus lamunannya. Gadis dengan wajah teduh dan rambut sebahu mengambil tempat duduk di samping Kinara. Setelah menguap panjang, Kinara membalas.
"Hai, Rum"
Setelah sapaan malas itu, tidak ada lagi yang membuka mulut. Kinara sibuk mengabsen awan, Arumi sibuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri.
"Kamu ingat nggak isi surat dari Rey ?"
Rey ? Kinara praktis menatap Arumi saat nama asing itu keluar dari mulutnya.
"Setelah membaca surat itu, aku sadar diri di mana posisiku sebenarnya."
Kinara mengernyit bingung. Posisi apa ?
"Tapi aku tidak sepertimu, Ra. Aku selalu mengejar apa yang aku mau. Meskipun kadang aku membujuk hatiku sendiri untuk berhenti, untuk menerima." Helaan nafas Arumi terdengar berat tapi Kinara belum menemukan maksud perkataan temannya itu.
"Tapi menerima itu rasanya seperti minum obat, Ra. Ditelan pahit, nggak ditelan nggak sembuh."
"Ternyata benar ya kata orang-orang. Tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki. Tapi dalam kasusku, meskipun kita dekat, tapi perasaan kita tidak sedekat rumah yang hanya dipisahkan tembok. Setidaknya hanya aku yang merasa dekat, dia tidak."
"Ngomong apa sih, Rum ?" Kinara akhirnya bicara juga. Namun belum sempat Kinara bertanya lebih jauh lagi, Arumi kembali meneruskan kalimatnya.
"Tapi tenang aja, aku tidak bisa menyerah begitu saja karena aku bukan kamu."
Arumi langsung pergi begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya. Sungguh, Kinara tidak mengerti sama sekali dengan perkataan menohok Arumi barusan. Sebagai pecinta mancing mania, urusan cinta memang bukan ranah Kinara. Ia terlalu polos untuk mengerti arah bicara Arumi. Maka dengan tampang bingung, Kinara meneriaki Arumi yang mulai menjauh.
"Rey itu siapa, woy ??!!"
Menjelang pulang sekolah, Kinara menerima undangan terhormat dari kepala sekolah. Bukan Kinara saja, Rayyan pun mendapat kesempatan yang sama. Kinara duduk gelisah di dalam ruangan, mencaci Valen yang belum kelihatan batang hidungnya. Berjarak satu kursi, Rayyan duduk dalam hening. Hanya mereka berdua di ruangan itu, ditemani tiga mangkuk bakso dengan kuah yang hampir luber.
Kinara melirik sekilas wajah peranakan itu. Ekspresi teduh itu adalah ekspresi yang sama saat Kinara menggenggam wajahnya tadi pagi. Alih-alih mendapatkan tatapan nyalang sebagai buntut perbuatannya, Kinara justru mendapatkan tatapan hangat yang meneduhkan, dan tanpa menanggalkan tatapannya dari binar mata Kinara, Rayyan menggenggam tangan dingin yang menempel di wajahnya dan mulai bicara aneh.
"Bukan begini caranya, Ra."
Kinara tersedak ludahnya sendiri lalu buru-buru melepaskan tangannya. Sebaris senyum tipis terbit di wajah tampan itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Kinara yang masih tergugu.
Apa katanya tadi ? Bukan begini caranya ?. Kinara merinding mengingatnya lagi.
"Kucing Pak kepala sekolah habis sunat kali, ini makanan syukurannya" ucap Valen setengah berbisik saat melihat meja terisi bakso. Kinara yang mendengarnya menggigit bibir, menahan tawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"