Tante Maya menatap kusut punggung Kinara yang berjalan mendahului Ibu-ibu yang lain. Mereka dalam perjalanan pulang seusai arisan. Dengan dandanan gonjreng khas Ibu-ibu, mereka ceriwis di belakang Kinara.
“So sunyi komplek pas Rayyan berenti karja eee ?” Mama Irna bertanya nelangsa.
Melihat punggung Kinara, bukan hanya Tante Maya yang tiba-tiba teringat pada Rayyan. Mama Irna, Tante Inong, juga turut merasakan. Apalagi Tante Maya. Beberapa Minggu sebelumnya, ia pernah menemukan Rayyan di depan rumah usai mengantar Kinara pulang. Anak ganteng kesukaan Ibu-ibu komplek itu menyapanya canggung. Setelah Rayyan menghilang di antara ramainya jalan, Kinara yang sedari tadi menahan sesak langsung menghambur ke pelukan Tante Maya. Menangis sebanyak yang gadis itu bisa. Tak banyak yang bisa Tante Maya lakukan selain mengusap punggung Kinara. Berharap semoga suatu saat nanti gadis di pelukannya ini dapat berbesar hati menerima. Bahwa hidup tak bisa dipaksa menuruti kemauannya.
“Ajak ke kebun Inong. Kita bakar-bakar jagung di sana. Biar dia bisa lupa sama si Rayyan.” Ungkap Mama Irna.
“Yang namanya kenangan tidak bisa hilang kaya sulap, simsalabim ! Apalagi cuma gara-gara diajak makan jagung bakar di kebun. Mana bisa ?” Sela Tante Maya. Lalu ketiganya berdecak bingung.
Percakapan sore itu berhenti saat satu persatu memasuki pintu rumah.
******
Tante Maya benar, yang namanya kenangan tidak bisa hilang kaya sulap. Kinara sendiri tahu itu. Padahal sudah berkali-kali ia memohon pada dirinya untuk berhenti memutar kenangan lama dalam kepalanya. Berhenti menyesali apa yang sudah hilang. Soal perasaan Rayyan yang baru diketahuinya menjelang perpisahan mereka, bukankah Rayyan sudah berkata bahwa tidak kenapa untuk tidak tahu. Karena walau bagaimanapun tidak ada yang bisa mereka lakukan dengan perasaan yang tumbuh di usia belia. Mereka bukan orang dewasa yang bisa memutuskan akan dibawa kemana perasaan yang mereka punya. Jalan mereka masih panjang. Masa depan mereka masih di angan-angan.
“Kamu tahu, Ra, aku pernah cerita soal kamu sama Ibu. Terus Abah dengar dan dia marah. Katanya laki-laki sama perempuan itu punya batasan. Tahan dulu sampai batas itu mengabur karena ikatan pernikahan. Tapi akunya tetap bandel, masih aja mau nempel sama kamu.” Lantas laki-laki itu tertawa. Baru kali ini Kinara mendengar laki-laki ini membicarakan Abahnya. Tampaknya waktu sudah membasuh luka kehilangan sedikit demi sedikit.
“Kata Abah lagi, sabar aja nunggu. Nggak usah kayak cacing kepanasan hanya karena cinta. Allah sudah menjamin laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu juga sebaliknya. Nggak akan ketuker. Kita kalau sudah ditakdirkan bersama, sejelek apapun jalannya, sebanyak apapun lubang yang menutupi jalan, kita akan tetap bertemu.”
Siang itu, Kinara tidak sanggup menimpali omongan Rayyan. Sepanjang perjalanan pulang, ia biarkan berisiknya kepala berbaur dengan ramainya kendaraan yang berlalu lalang di sekitar kendaraan mereka. Ia tekan jemarinya kuat-kuat, meminta sepasang matanya untuk bertahan sedikit lebih lama membendung perasaan luka yang nyaris kembali memberontak. Lalu ia larikan pandangannya pada gerombolan awan, meski yang tampak hanya bayang-bayang air mata.
“Aku sih nggak begitu percaya.” Lalu ia tergelak, tertawa sendiri. “Aku durhaka ya nggak percaya omongan Tuhan. Padahal Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita. Tapi ya sudahlah, anggap aja itu kalimat penenang kalo kamu juga nggak yakin. Kita jadikan kalimat itu sebagai pegangan sambil kita memantaskan diri. Aku berusaha jadi baik, kamu pun sama. Dengan begitu kita jadi sama-sama baik, ketemu deh.” Rayyan tertawa lagi.
Kinara diam saja. Dalam hening, ia rekam tawa renyah Rayyan dalam kepala untuk ia simpan lebih lama. Agar ketika ia rindu, ia bisa bawa kembali tawa itu dalam pelukannya.
Kinara membasuh air mata yang lagi-lagi lolos setiap kali ia mengenang momen kebersamaannya dengan laki-laki yang kini entah dimana rimbanya. Apakah masih di kota kecil ini, melihat lampu redup jalan yang sama, atau di sudut bumi yang lain. Di saat-saat seperti ini, Kinara berharap kemampuan ajaib itu datang dan menjabat tangannya, setidaknya dengan begitu, ia tahu kemana ujungnya perasaan mereka, apakah takdir masih bersedia mempertemukan atau justru saat inilah ujung takdir mereka, sebuah perpisahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Fiksi Remaja"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"