6. Olimpiade Matematika

7 2 0
                                    

Siang itu, saat matahari hampir sejajar kepala, tawa Tante Ima turut menyumbang bising. Menambah satu lagi jenis suara yang mengisi pekarangan  sekolah. Belum lagi suara meletup-letup minyak di penggorengan, Kinara yang mendengarnya semakin frustasi saja. Setelah mendengar bisik-bisik beberapa siswa centil yang makan di kantinnya saat jam istirahat, Tante Ima menemukan kabar menggelikan tentang Kinara yang tak sengaja menabrak Rayyan lalu jatuh pingsan. Sambil cekikikan, Tante Ima bertanya.

"Anak tampan itu tidak geger otak, kan ?"

Alis Kinara menekuk dalam. Akankah separah itu ? Ia tidak berpikir sampai sejauh itu, namun mengingat kerasnya benturan kepala Rayyan di lantai, itu mungkin saja terjadi.

"Nggak tahu."

 "Astaga !" Tante Ima menepuk dahi.

Setelah kejadian tabrakan itu Rayyan terlihat biasa-biasa saja, tetap congkak. Kinara juga enggan meminta maaf. Kalau dipikir-pikir, jika masa depan itu benar, maka yang harus dilakukan Kinara hanya tidak terlibat dengan Rayyan, seperti yang ia lakukan setiap harinya. Bukankah mereka memang saling membenci ? Ramalan masa depan itu akan mudah untuk diubah. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kinara terkekeh memikirkan itu. Ternyata mudah saja.
       
Namun Kinara salah besar, itu tak semudah yang ia kira. Beberapa hari setelah gelak tawa Tante Ima merayap mengisi setiap sudut kantin,  siang itu Febi heboh membawa berita yang ia dengarkan diam-diam di kantor saat sedang rapat guru. Berita yang membuat Kinara berpikir ulang tentang betapa mudahnya mengubah masa depan.

"Olimpiade matematika akan segera diadakan," suara Febi melengking.

Kerumunan langsung membubarkan diri, tidak tertarik.

"Ah, aku pikir berita kita bisa pulang lebih awal. Guru-guru kan sedang rapat." Kinara kecewa.

"Dengar dulu, Kinara. Ini berita spektakuler."
"Berita apa ?"

"Sekolah kita akan menyeleksi siapa siswa yang bisa ikut bertanding."

"Itu yang kamu bilang spektakuler ?" Kinara tak terima.

"Belum, berita ini belum selesai".

"Jadi, setiap kelas akan diwakili oleh 3 orang. Sang juara satu, dua, dan tiga."

Kali ini Kinara mencerna kata per kata dengan serius. Mewakili kelas ? Juara satu, dua, tiga ?. Alamak.

"Lantas kenapa kau heboh sekali ? Kau kan bukan si juara satu, dua, tiga ?" Pertanyaan Lisa membuat wajah Febi terlipat.

"Si juara dua, dan tiga adalah sahabatku, jelas aku heboh." wajah Febi merah padam.

"Alaaaaah, meskipun mereka sahabatmu, kau tetap tidak ada kontribusinya dalam lomba ini, kenapa bikin heboh ?,"

"Lisa, udah !" Tandas Arumi yang mulai ikut jengkel.

Lisa beringsut pergi, membawa wajah mengejek, meninggalkan Febi yang nyaris berkobar.

 Kinara komat kamit dalam hati. Kenapa pula para guru mau repot-repot mengadakan lomba antar kelas hanya untuk memilih siapa yang pantas dikirim ke olimpiade matematika. Bukankah jari tinggal tunjuk dan was wis wus mengikuti olimpiade. Semudah itu. Tidak perlu buang-buang dana, waktu, dan tenaga.

"Jadi semua perwakilan kelas akan diberikan serangkaian tes untuk dikerjakan. Nah, dari tes itu akan dilihat siapa yang nilainya paling tinggi satu, dua, dan tiga. Mereka itulah yang akan mewakili sekolah kita untuk olimpiade." Febi kembali melanjutkan.

 Kinara menghela napas lega. Ternyata mereka hanya akan terlibat sementara saja. Setelah selesai tes, Kinara mungkin tidak akan terpilih. Ia bisa jauh-jauh dari Rayyan. Begitu pikir Kinara.

Takdir BerkataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang