Hari itu Rayyan datang pagi sekali. Berjalan sumringah sambil membawa boneka kelinci berukuran lumayan besar. Ia sudah mempersiapkan semuanya hari ini, termasuk hatinya, juga rangkaian kata yang ingin ia utarakan pada gadis yang membuatnya luluh sejak hari pertama masuk sekolah, Kinara.
Hari itu jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, membuat perut mendadak mules. Melupakan sejenak urusan perasaan, Rayyan buru-buru pergi ke wc untuk menuntaskan hajat. Sekembalinya dari wc, ia mendapati sekolah mulai ramai. Siswa lain mulai berdatangan mengisi halaman sekolah. Tanpa terkecuali teman kelas Rayyan. Sepagi ini kelas sudah meriah, melempar boneka kelinci kesana kemari. Rayyan melongo melihat boneka yang susah payah ia beli dari hasil menabung uang jajan selama berhari-hari itu menjadi mainan orang sekelas, sementara Kinara, gadis yang seharusnya menjadi satu-satunya pemilik boneka tampak tidak peduli.
Rayyan menatap sayu Ke arah Kinara. Marah, sedih, sakit hati, dan segala jenis perasaan kecewa membungkus hatinya pagi itu. Ditambah melihat sepucuk surat yang tergeletak sembarangan di atas meja, hampir-hampir Rayyan menitihkan air mata karenanya.
Sembari menunggu kedatangan Kinara dan Valen, Rayyan memutar ulang kejadian tempo hari dalam ingatannya. Begitulah asal muasal perbuatan jahilnya pada Kinara yang membuat gadis itu meradang dan mulai membencinya. Kemudian ia menemukan kenyataan pahit dari obrolan di siang bolong antara Febi dan Kinara bahwa Kinara ingin mengubah takdirnya. Febi memang tidak mengerti maksud pernyataan Kinara tapi Rayyan tidak. Ia lebih dari tau apa yang dibicarakan gadis itu. Manik mata Kinara berbicara banyak, bahwa gadis itu mengalami hal serupa dengan apa yang ia alami, melihat masa depan. Ia sama frustasinya dengan Kinara ketika pertama kali mendapati dirinya sendiri berada di masa depan, bedanya ia menerima takdir itu tapi Kinara tidak. Lalu kehadiran Valen membuat perasaannya tambah carut-marut. Sudahlah luka, ditabur garam pula.
Dari kejauhan terdengar suara cekikikan, itu suara Valen yang sedang asyik mengejek Kinara. Mengejeknya yang seperti kucing basah diomeli Pak Guru Matematika. Kinara yang kesal menarik rambut Valen dengan satu tangan, membuat Valen mengaduh memohon ampun. Mereka cepat sekali akrab.
"Kau berat sekali, Kinara. Kakiku sampai gempor." ucap Valen setelah Kinara turun dari sepeda. Napasnya tersengal-sengal.
"Kau kan suka olahraga, biar sehat."
"Ini bukan olahraga tapi penindasan !"
Kinara menjulurkan lidah, mengejek.
"Mana jagung bakarnya ?" Kinara celingak celinguk, mencari tempat penjual jagung bakar. Mendengar pertanyaan Kinara, Valen berpura-pura menepuk dahi.
"Ya ampun !! Aku lupa. Penjual jagung bakarnya bukan di sini, tapi pantai di dekat taman JH."
"Valeeeeeeen !!! Kau menipuku !"
"Ampuuuun !!!" Valen berlarian ke sana kemari, menghindari Kinara yang hendak mengamuk. Aksi kejar-kejaran itu pun terjadi. Diselingi suara tawa Valen. Rayyan masih dengan posisi yang sama, duduk memerhatikan keduanya berlarian dengan perasaan getir.
"Baiklah-baiklah, aku akan membawakanmu jagung bakar. Biarkan aku bernapas dengan normal dulu" Valen duduk sebentar. Setelah deru napasnya terasa normal, ia mulai beranjak pergi membeli jagung bakar di pantai sebelah. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya puluhan meter saja.
"Jangan kemana-mana Rayyan, tetap di sini. Aku akan membawakan kalian jagung bakar" Rayyan mengangguk.
Setelah Valen pergi, keheningan mulai merayapi sekeliling pantai. Sesekali suara mesin tempel nelayan bersahut-sahutan, mengusik keheningan. Di ujung sana matahari mulai meluncur ke pembaringan, membuat jingga riak air laut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"