Angket pilih jurusan menjadi masalah berikutnya yang harus dihadapi Kinara setelah olimpiade menyebalkan itu. Mungkin bagi siswa lain ini bukan masalah serius tapi bagi Kinara itu serius.
Di penghujung semester, angket pilih jurusan disebar kepada setiap siswa kelas sepuluh. Tak terkecuali Kinara. Sedari tadi ia sibuk mematut-matut selembar kertas di hadapannya. Bingung harus mengisi apa di kolom cita-cita dan pilih jurusan. Febi melirik Kinara heran. Bukankah Kinara belum lama ini memenangkan olimpiade matematika ? Kenapa ia tidak memilih jurusan IPA saja ?.
"Haruskah ku tulis cita-citaku menjadi pelancong dan memilih jurusan IPS ?" Gumam Kinara.
"Apakah pelancong termasuk cita-cita ?" Tanya Arumi. Kinara mengedikkan bahu. Ia pun bingung apakah pelancong bisa disebut cita-cita.
"Kau ingin jadi apa di masa depan, Arumi ?"
"Aku ingin menjadi seorang perawat."
"Berarti kau akan masuk jurusan IPA."
Arumi mengangguk.
Kinara menatap iri pada Arumi. Arumi punya cita-cita itu artinya dia juga punya rencana masa depan. Berbeda dengan dirinya. Padahal anak SD saja akan berteriak lantang ketika ditanya tentang cita-cita, menjawab dengan enteng. Kenapa ia tidak bisa ?
"Bu, bolehkah saya diberi waktu lebih untuk mengisi angket ini ?"
Bu Ratna mengembuskan napas kencang. Ia sudah menduganya. Kinara pasti kesulitan menangani masalah ini. Dengan tersenyum ramah, Bu Ratna perlahan mengangguk.
"Baiklah. Serahkan sebelum bel pulang."
Kinara mengiyakan.
Hal pertama yang terpikirkan Kinara adalah konsultasi dengan Bu Hikma. Namun sesampainya di ruang BK, pintu ruangan sakral itu tertutup rapat. Ia lalu bertanya pada salah satu guru dan mendapati kabar bahwa Bu Hikma tidak masuk sekolah karena sedang sakit.
Kinara beranjak menuju kelas dengan perasaan gamang. Beberapa kali mengembuskan napas berat. Urusan cita-cita rumit sekali baginya. Padahal tak butuh waktu semenit bagi Arumi dan Febi mengisi angket itu. Arumi bercita-cita menjadi perawat sedangkan Febi ingin menjadi reporter berita. Tadi sebelum menuju ruang BK, Arumi menyarankan Kinara untuk menulis kata 'dokter' di kolom cita-cita. Febi menyetujui ide Arumi. Menurut keduanya profesi itu sangat cocok untuk orang jenius seperti Kinara. Namun Kinara masih bingung, ia belum memutuskan.
Bbbuuuuuuk !!!
Seseorang jatuh berdebum tepat di depan Kinara. Kinara menjerit kaget, hampir menginjak tubuh kesakitan itu. Patah-patah orang itu bangun, tersenyum memperlihatkan barisan gigi putih. Itu Valen. Terjatuh saat mengambil shuttlecock bulu tangkis yang tersangkut pada ventilasi di atas pintu. Kursi yang menopang tubuhnya patah. Kaki kursi itu patah satu. Menghempaskan orang yang naik di atasnya.
"Wah, suatu kebetulan yang menyenangkan, Kinara." Valen nyengir.
"Minggir ! Aku tidak berselera meladenimu hari ini." jawab Kinara ketus.
"Kenapa ? Apakah karena angket yang dibagikan hari ini ? Kau pasti kesulitan menulis apa cita-citamu."
Kinara terperangah. Tebakan Valen benar-benar jitu. Kinara akhirnya terkulai lemas di teras kelas Valen. Remaja berkacamata itu reflek duduk di samping Kinara.
"Kenapa kamu pusing sekali ? Bukankah kau ingin menjadi seperti mamamu, pemilik toko kue."
"Haruskah aku menulisnya begitu ?" Tanya Kinara dengan wajah kusut.
"Tentu."
"Jika cita-citaku seperti itu harusnya aku masuk SMK saja."
"Bagaimana kalau dokter ?,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Ficção Adolescente"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"