Kabar kemenangan Rayyan, Valen, dan Kinara segera merebak, ibarat banjir bah, merembet kemana-mana. Di sekolah, di toko Mama, bahkan di kantor Papa, harum sekali namanya. Berita itu cepat pula sampai di telinga Arumi. Ia merasa senang karena Rayyan senang. Tapi saat mendengar nama Kinara disebut, hatinya langsung mencelos.
Kinara punya segalanya. Cantik, cerdas, kaya, dan yang paling penting, ia punya keluarga yang hebat. Kontras sekali dengan keadaannya. Sejak kecil ia sudah khatam dengan asam garam kehidupan. Ayahnya seorang penjudi dan pecandu narkoba. Hobinya keluar masuk bui. Tak jarang ia memukuli istri dan anaknya jika tak diberi uang untuk membeli barang haram tersebut. Membuat Ibu Arumi terpaksa bekerja membanting tulang. Siang dan malam.
Kakak laki-laki Arumi kabur dari rumah sejak lulus SMA. Sempat mengabari Ibu alamat tempat tinggalnya kemudian hilang tanpa kabar. Hampir setiap malam Ibu menangisi kepergiannya. Tersengal-sengal di tengah malam. Sementara Arumi hanya bisa meratapi tangisan sang Ibu setiap malamnya dengan perasaan kebas.
Karena kondisi keuangan mereka yang serba pas-pasan, Arumi berjuang mati-matian untuk tetap sekolah. Ia tidak mungkin menukar kerja keras Ibu untuk menyekolahkannya dengan bermalas-malasan. Hidup sudah susah jangan ditambah susah. Ia harus berlari lebih kencang dari siapapun. Kerja keras adalah harga mati.
Namun hidup sesungguhnya adalah perjuangan. Berjuang untuk tetap berdiri kokoh meskipun ujian datang meruntuhkan. Kerja kerasnya selama ini rupanya tidak berbuah manis. Ia harus menerima kenyataan jika seorang Kinara yang pemalas itu berhasil menyabet peringkat di atasnya. Padahal sebelumnya ia yakin benar bahwa dirinyalah yang akan meraih juara dua. Namun karena hidup adalah perjuangan, ia bertahan sekuat mungkin untuk tidak roboh. Lalu di semester berikutnya, ia mencoba lagi. Belajar lebih tekun dari siapapun. Namun usahanya lagi-lagi berbuah pahit. Jangankan juara dua, juara tiga pun tidak sampai. Lalu kalian tahu apa ? Kinara yang pemalas itu masih bertengger di tempatnya, tidak bergeser sedikit pun. Lucu memang. Entah kemana slogan ‘usaha tidak menghianati hasil’ itu pergi.
Menurutnya dunia bekerja terlalu mudah untuk Kinara. Gadis itu mendapatkan segalanya tanpa perlu repot-repot mengeluarkan tenaga. Arumi benci itu, benci sekali. Kenapa takdir begitu pilih kasih. Setelah merampas gelar juara dari tangannya, Kinara masih rakus, egois merebut Rayyan darinya. Padahal Rayyan satu-satunya harapan yang tersisa. Laki-laki yang membersamainya sejak mereka masih sama-sama mengompol sembarangan itu lebih memilih Kinara yang bukan siapa-siapa. Padahal ia yakin betul laki-laki itu yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya.
Melihat senyum merona yang terbit di wajah Kinara saat mendapatkan piagam penghargaan dari sekolah membuat hatinya ngilu. Disampingnya berdiri seorang Rayyan dengan ekspresi yang sama. Mereka memang tidak memenangkan olimpiade matematika tingkat nasional, tapi itu sudah lebih dari cukup. Mereka sudah berhasil membuat bangga seisi sekolah. Pak kepala sekolah bahkan tak henti-hentinya tertawa.
Tangannya terkepal kuat. Begini balasan takdir atas semua kerja kerasnya ? Menyaksikan orang pemalas mendapatkan penghargaan ? Lelucon macam apa ini ?.
Dengan wajah memerah, Arumi melangkah keluar dari barisan. Meninggalkan acara konyol itu begitu saja. Toh itu cuma penyerahan piagam, upacara bendera sudah lama selesai.
“Ra, mulai sekarang kamu nggak usah repot-repot bawain aku bekal.” Arumi mendengus tajam. Adegan ini sudah lama sekali membuatnya muak.
“kenapa ? Kamu bosan sama menunya ?”
“Nggak bosan. Cuma kasian kamunya. Aku juga sudah lama nggak makan di kantin, kangen.”
Kinara mencebik. Tapi ya sudahlah. Urusan dengan kantin Tante Ima juga sudah selesai. Tidak masalah jika Rayyan makan di kantin lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Fiksi Remaja"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"