Pukul 07.10, motor yang dikendarai Rayyan meluncur di jalanan kota. Ini hari keempat ia menjalankan misi 'terlambat' datang sekolah. Sejauh ini perhitungannya tidak pernah meleset. Selama tiga hari terlambat, selama tiga kali pula ia bertemu sang pujaan, lebih dekat dan tanpa gangguan siapapun. Arumi atau Febi misalnya. Paling hanya gangguan kecil dari Abang Riz dan itu sama sekali tidak membuat Rayyan merasa terganggu. Meskipun bayarannya ia harus rela kehilangan satu jam mata pelajaran yang berharga. Tapi tidak apa, Kinara jauh lebih berharga.
Sesampainya di gerbang sekolah yang pastinya sudah tertutup, Rayyan celingak-celinguk mencari keberadaan Kinara. Apa mungkin Kinara belum datang ?.
"Ah, Rayyan." Abang Riz beranjak membukakan pintu gerbang.
"Sepertinya perhitunganmu kali ini salah, Yan. Gadis pujaan hatimu tidak terlambat kali ini."
Nasib. Kinara tidak ada tapi hukuman tetap jalan. Yang lebih sial lagi, hari ini jenis hukumannya diganti. Bukan lagi lari atau bersih-bersih wc. Tapi dijemur di tiang bendera.
Bersama tiga siswa yang lain, Rayyan menjalani hukumannya. Berdiri di bawah tiang bendera dengan terik matahari yang terasa menyengat kulit. Orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka sesekali mengejek, tak sedikit pula yang menatap miris.
"Minum dulu, Rey." Rayyan menoleh. Jarang sekali Arumi memanggilnya dengan nama itu di sekolah.
"Nih, minum dulu." Rayyan meraih botol minum yang diberikan sahabat sejak kecilnya itu. Di sebelah tangannya terlampir beberapa buku cetak. Mungkin ia mengambilnya dari kantor.
"Nanti kena mulut." Maksudnya itu botol Arumi, ia tidak sampai hati mengotori botol itu dengan mulutnya.
"Santai aja kali. Ini aku bukan orang lain."
Baiklah. Rayyan meneguk air sampai habis setengah botol. Dijemur di bawah matahari begini bikin rasa hausnya meningkat dua kali lipat.
"Rey, temenin aku beli kado dong buat Ibu."
"Kapan ?"
"Bentar pas pulang sekolah. Boleh, ya ?" Arumi memasang wajah semanis mungkin. Cara ini selalu jitu untuk membujuk Rayyan.
"Okelah."
Arumi seketika berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tidak peduli ada siswa lain yang dijemur bersama Rayyan.
*****
Terik matahari membasuh kota. Menciutkan nyali orang-orang untuk beranjangsana. Terkecuali Febi dan Kinara. Keduanya sedari tadi menggebu-gebu ingin naik bendi --kereta kuda-- . Berlarian menuju perempatan. Menunggu bendi di sana. Biasanya kendaraan tradisional itu muncul pas jam pulang sekolah. Siswa perempuan suka sekali naik kendaraan ini. Selain karena dapat memuat banyak penumpang, mereka juga bisa mengobrol lebih lama sambil menikmati hiruk pikuk kota sepanjang perjalanan.
Ini adalah kali pertama mereka naik kendaraan itu bersama. Selama ini Kinara memilih naik ojek untuk pulang, sedangkan Febi dijemput kakaknya. Arumi tidak ikut. Selain karena rumahnya tidak searah, ia ada janji dengan Rayyan ke pasar. Membeli kado ulang tahun untuk Ibunya.
Febi dan Kinara girang bukan main saat kendaraan itu berhasil mereka cegat. Menaikinya dengan girang tanpa tahu ada sesuatu yang menunggu mereka di sana.
Di awal perjalanan masih baik-baik saja. Tidak ada hal berarti yang terjadi. Kinara dan Febi menikmati perjalanan. Badan bergoyang-goyang sesuai irama langkah kaki Kuda. Panas terik di siang bolong terhalang atap bendi. Angin berkesiur di telinga, menerbangkan debu dan sampah yang dibuang pengendara mobil di depan mereka. Febi berseru marah, menyebut pasal kebersihan lingkungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"