Tok..
Tok..
Tok... !!Kinara melirik jam dinding sekilas. Hampir tengah malam. Orang gila mana yang mengetuk pintu rumah selarut ini ? Kinara memejamkan mata lagi. Siapapun dia, itu masalahnya. Kinara tidak peduli.
Mobil di bawah sana tiba-tiba saja mengerang. Suara hentakkan kaki buru-buru, debam pintu, juga bunyi ban mobil mencengkram lantai meraung-raung di telinga. Kinara melompat kaget, gelagapan membuka pintu. Kosong. Tak ada siapa-siapa di sana.
Masih dalam keadaan linglung, ponsel Kinara tiba-tiba berdering. Menampilkan nomor baru yang sama sekali tidak dikenalnya. "Halo…" ucapnya ragu.
"Ini Mama, Ra. Kamu nggak apa-apa di rumah sendirian kan ?"
Kinara mengangguk. Lupa kalau sedang telponan.
"Kinara ?" Mama bertanya di ujung telpon.
"Eh, iya ?"
"Kamu nggak apa-apa di rumah sendirian ?"
"Nggak lah."
"Mama mau ke Rumah sakit, Ibu Rayyan pingsan."
"Hah ??" Belum sempat mendengar penjelasan, telepon itu mati, sambungan terputus.
Kinara melempar hp ke atas kasur. Masih tengah malam, terlalu dini untuk bangun. Karena masih malam, ia kembali merangkak ke atas kasur, melanjutkan mimpi yang tadi terpotong, barangkali bisa replay.
Pagi yang hangat di kota kecil Kinara.
"Hooooaaaaamm !!" Kinara menguap panjang sembari meregangkan otot-otot tangannya lalu sejurus kemudian terlonjak kaget melihat Rayyan berhenti tepat di depan matanya.
Kinara menelisik wajah lelah Rayyan. Mata bengkak, tatapan sayu, juga kaos oblong yang itu-itu saja.
"Kenapa jemput ?"
Rayyan mengedikkan bahu malas.
"Ibu kamu nggak apa-apa ?"
"Sudah siuman."
"Di rumah sakit ada siapa ?"
"Adek."
"Padahal aku bisa naik ojek loh, beneran."
"Ini bukan demi kamu." Rayyan mengusap wajah lelahnya.
"Jadi, demi siapa ?"
"Demi aku."
"Hah ?" Kinara bertanya bingung. Menggaruk kepala yang tak gatal.
"Cepat naik !" Rayyan menarik tangan Kinara, menuntun wajah bingung itu agar segera naik ke atas motor. Ia buru-buru. Ada Ibu yang menunggunya di Rumah sakit. Ia tak bisa percaya sepenuhnya pada adik perempuan yang baru lulus SD itu.
Kinara melamun panjang selama perjalanan. Memikirkan orang di depannya ini. Padahal belum genap sebulan ditinggal pergi Abahnya, Ibu yang menjadi satu-satunya sandaran hidup Rayyan tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri. Serangan jantung. Begitu vonis Dokter.
Kinara mendesah panjang. Apakah takdir akan membawa pergi Ibu Rayyan ? Padahal luka di dada anak laki-laki ini masih menganga lebar setelah kepergian Abah. Jika takdir berkata akan memanggil Ibu Rayyan pulang, lantas takdir menjanjikan apa sebagai ganti kehilangan ?.
Kinara mendesah sekali lagi. Rayyan memang tak pernah berkeluh kesah, tapi Kinara tahu.
Kedua sejoli itu disambut lambaian tangan seorang Valen di pucuk gerbang sekolah. Wajahnya cerah, bersaing dengan sinar matahari yang melewati kisi-kisi gerbang besi yang mulai karatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"