Dari bingkai jendela kamar, Kinara menatap nanar ke arah Rayyan yang tengah duduk sendirian di selasar toko. Sorot kemuning lampu jalan jatuh pada wajahnya yang sendu. Menyingkap sedikit rasa luka yang menyelubungi hati. Kinara hanya tidak tahu apa luka itu. Ia terlalu sibuk dengan lukanya sendiri.
Takdir enak sekali mempermainkan dirinya. menarik ulur perasaannya. Dulu saat ia benci sekali pada Rayyan, takdir datang memberi kabar bahwa Rayyan adalah jodohnya. Sekarang setelah perasaannya perlahan menerima, takdir justru ingin membawa jodoh itu pulang. Sebenarnya apa mau takdir ? Bukankah takdir terlalu semena-mena terhadap hidupnya ?
Kinara mengusap pipinya yang mulai basah.
Ia tidak mungkin sanggup melihat wajah yang setiap hari tersenyum menyambutnya di depan pintu tertimbun di bawah tanah. Ia tidak mungkin bisa menemukan lagi hangatnya genggaman tangan yang sama pada jemarinya. Membayangkan hidupnya selepas kepergian Rayyan membuatnya tak sanggup berdiri lebih lama. Ia jatuh bersama hati yang mulai patah.
******
"Ternyata takdir bisa berubah ya, bang ?" Kalimat pertama Kinara akhirnya muncul setelah keterdiaman yang cukup panjang. Abang Riz masih menyapu halaman, belum menanggapi pertanyaan gadis itu.Hari ini Kinara memutuskan untuk berangkat sekolah lebih pagi. Diantar Om Ito yang kebetulan akan pergi ke dermaga, membeli ikan langsung pada nelayan yang baru kembali dari memancing. Terheran - heran melihat keponakannya yang sudah berseragam lengkap padahal hari masih gelap.
"Rayyan kemana ?" Pertanyaan pertama Abang Riz membuat Kinara melenguh panjang. Bisa tidak sih jangan menyebut nama itu dulu ?
"Di rumah."
"Kenapa tidak berangkat bareng ?"
Ah, lagi-lagi.
"Sengaja, biar bisa nongkrong di sini dulu."
Kinara buru-buru mengeluarkan kotak bekal, menyumpal mulut Abang Riz dengan makanan yang dibawanya agar berhenti menyinggung laki-laki itu.
"Nasi kuning, bang."
Menu sarapan yang sama dengan menu kemarin pagi. Penyakit Mama jika ada yang memuji masakannya maka ia akan memasak menu yang sama selama berhari-hari. Dan kebetulan yang memuji makanan itu kemarin adalah Rayyan.
"Alhamdulillah, rezeki."
Tanpa menunggu lama, Abang Riz segera membuka tutup bekal berwarna oranye itu. Segera melahap makanan di dalamnya.
"Ternyata takdir bisa berubah ya, bang ?" Kinara kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Kan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya." Begitu kata Abang Riz.
Kinara menarik napas panjang. "Jadi itu sebabnya kenapa orang-orang bekerja keras ? Biar takdirnya berubah, gitu ?"
"Untuk orang-orang yang hidupnya serba tidak cukup, bermalas-malasan artinya bunuh diri, Kinara. Entah dengan bekerja keras takdir itu akan berubah atau tidak, setidaknya kita punya kesibukan untuk mengalihkan kita dari pikiran yang tidak-tidak tentang Tuhan. Bukankah kita diciptakan di dunia ini untuk menjadi hamba yang baik ? Lagi pula jika kita miskin, belum tentu kita tidak bahagia. Orang kaya pun belum tentu bahagia dengan kekayaannya. Ukuran kebahagiaan seseorang tidak melulu tentang materi."
"Emang ada orang kaya yang tidak bahagia ?"
"Ada. Orang sakit misalnya. Dia tidak bisa menikmati kekayaannya karena terbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit."
"Tapi dengan kekayaannya dia bisa berbaring di ranjang kamar VIP dengan dokter dan perawat yang tertunduk-tunduk hormat."
Abang Riz mengusap wajah kesal. Anak ini jawabannya adaaaaa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Berkata
Teen Fiction"Rayyan, apakah dengan melihat masa depan bisa menjamin aku akan hidup bahagia dengan kamu di sisi aku ? Apakah benar demikian ? Bukankah takdir tidak pernah menjanjikan kehidupan bahagia secara cuma-cuma ?"