Kamu Mau Apa Lagi, Chika?

21 4 2
                                    



Si cowok tampan tersebut bernama Arsel, ketua ekskul basket SMA Hujan Permana. Dia menatap Chika dan Arsel bergantian.

Chika menoleh menatap Arsel. Dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau dia tak suka Arsel ikut campur.

"Loh, salah dia sendiri lah, Sel. Berani-beraninya dia ngomong ke aku pake nada tinggi," sanggah Chika, membela diri.

Sikap dan ucapannya berbeda saat bicara dengan Arsel. Dia bahkan menggunakan "aku-kamu", bukan "gua-lo" seperti saat bicara dengan Amel tadi.

Chika memang menyukai Arsel. Sudah sejak lama dia ingin menjadikan Arsel pacarnya tetapi hingga detik ini dia masih belum berhasil juga.

"Gua nggak mau denger alasan lu, Chik. Lu berisik dan sebaiknya lu ke kantin sekarang. Ambil pesenan lu itu pake tangan lu sendiri," kata Arsel, menatap Chika kesal.

Kemudian dia menatap Amel, masih dengan muka kesalnya itu, lalu berkata, "Lo tinggal kerjain ulang tugas tambahan lo ini di buku yang lain. Simpel, kan? Nggak usah berisik deh. Gua lagi mumet."

Arsel hari itu memang sedang banyak pikiran gara-gara masalah di rumah. Selain itu, dia tipe cowok yang sulit mengutarakan apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakannya. Seringkali yang dikatakannya justru berkebalikan dengan yang dia rasakan dan pikirkan.

Sebenarnya Arsel merasa kasihan pada Amel. Dia telah berkali-kali melihat Amel dijadikan sasaran perundungan oleh Chika dan gengnya. Tapi, seperti siswa-siswa lainnya, dia pun sebisa mungkin menghindari konfrontasi dengan Chika.

Chika sendiri kini menatap Arsel dengan kesal. Dia tak terima Arsel menyalahkannya atas apa yang terjadi barusan. Tapi, sebab Arsel juga terlihat menyalahkan Amel, dia mencoba mengabaikan rasa kesalnya itu.

Lagi pula di matanya, Arsel berbeda dengan siswa-siswa lain di sekolah tersebut. Untuk hal sesepele itu, dia bisa memaafkan Arsel.

Kemudian Chika menatap Amel lagi, mendekatkan wajahnya pada wajah Amel, berkata, "Lu beruntung karena kali ini gua berbaik hati. Tapi, bukan berarti lu nggak akan gua hukum. Tunggu aja!"

Setelah mengatakannya, Chika mengajak Dera keluar kelas. Setelah mereka keluar, barulah suasana di kelas mencair. Siswa-siswa yang tadi diam dan tegang itu kini mulai mengobrol seperti biasanya.

Sementara itu Arsel masih berhadapan dengan Amel. Ditatapnya si murid baru itu lekat-lekat. Raut wajahnya sedikit berbeda.

"Pipi lo nggak apa-apa?" tanyanya tiba-tiba.

Tak mengira Arsel akan menanyakan itu, Amel hanya terdiam mematung. Arsel sendiri terus menatapnya dan lambat-laun mulai terlihat kalau dia mencemaskan Amel.

"Gimana pipi lo? Aman?" tanya Arsel lagi.

"Aman kok," jawab Amel sambil mengusap-usap pipi kanannya.

Meski dia berkata begitu, sesungguhnya pipi kanannya itu terasa perih dan ngilu. Tamparan Chika tadi benar-benar keras.

"Coba gua lihat," kata Arsel, tiba-tiba memegangi pergelangan tangan Amel dan menjauhkannya dari pipinya. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke pipi Amel, mengamati bekas tamparan Chika yang ada di situ.

Lagi-lagi apa yang dilakukan Arsel ini di luar dugaan. Amel sampai refleks menjauhkan pipinya dari Arsel. Matanya membulat tapi pipinya merah merona.

"Saran gua sih, lo coba ke UKS. Di sana ada kompres yang bisa lu pake. Kalau nggak dikompres, takutnya pipi lu ini ntar bengkak," kata Arsel.

Dia telah melepaskan tangan Amel dan menjauhkan lagi wajahnya. Dari cara bicaranya yang dingin, dia terkesan tak benar-benar peduli pada Amel. Tapi sorot matanya tak seperti itu.

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang