Dia Itu Cewe Nggak Bener!

5 0 1
                                    


Amel menempati mejanya. Dia masih saja dengan tatapannya itu. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Arsel terus mengamati Amel, curiga sesuatu baru saja terjadi. Tapi, dia tak tahu itu apa. Dia tak punya petunjuk sama sekali.

Baru juga dia hendak berdiri dan menghampiri Amel, guru masuk. Arsel pun terpaksa menunggu sampai bel pulang nanti.

Namun ternyata, ketika bel pulang berbunyi, di saat Arsel baru akan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Amel sudah berjalan melewatinya. Langkah-langkahnya cepat seakan dia tergesa-gesa. Raut mukanya kusam.

Arsel keluar kelas dan memanggil-manggil Amel, tapi Amel tak menoleh dan tak berhenti. Justru langkah-langkahnya semakin cepat.

'Aneh. Kenapa dia tiba-tiba jadi kayak gini?' pikirnya.

Lebih dari satu jam kemudian, di rumah Arsel yang megah.

Arsel yang baru pulang sekolah mendapati papanya sedang duduk di ruang tamu. Sepertinya sedari tadi dia menunggu Arsel pulang.

"Arsel, duduk sini!" pinta Teo.

Arsel menatap papanya heran. Jarang sekali Papahnya ini mengajak bicara seperti ini.

"Ada apa, Pah?" tanyanya setelah duduk di sofa pendek yang tidak diduduki papanya.

"Jauhi si Amel. Papah nggak suka," kata Teo.

Kerutan-kerutan muncul di kening Arsel. Tiba-tiba saja, papanya bicara seperti itu. Biasanya papanya ini tipikal orang yang cuek dan tidak peduli soal dengan siapa Arsel teman. Kali ini, kenapa berbeda?

"Lah, memangnya kenapa, Pah?" tanya Arsel.

"Kamu masih nanya kenapa? Dia itu cewe nggak bener!" jawab Teo dengan nada agak tinggi.

Arsel menatap papanya kesal. Apa maksudnya ini?

"Apaan sih, Pah? Kata siapa dia nggak bener? Amel itu justru anak baik, Pah. Dia juga berbakti sama ayahnya," kata Arsel emosi.

"Lihat ini lihat! Kamu masih mau bilang dia anak baik?!" tanya Teo sambil memperlihatkan foto yang tadi ditunjukannya ke Amel.

Seperti halnya Amel tadi, Arsel pun kaget melihat foto yang ditunjukan Teo. Dia berciuman dengan Amel? Itu tak pernah terjadi. Belum pernah, setidaknya.

"Pah, Arsel nggak pernah ngerasa dicium atau ciuman sama Amel. Itu pasti editan, Pak!" kata Arsel tegas.

"Nggak usah bohong kamu, Aresel! Pasti karena kamu akhir-akhir ini dekat sama dia, kan, makanya sekarang kamu berani bohong sama Papah?"

"Apaan sih, Pah? I'm not lying!"

Tangan Arsel mengepal. Dia marah pada orang yang telah menyebar mengedit foto itu dan menunjukkannya pada papanya. Apa masalah orang itu dengannya?

"Terserah Papah mau percaya sama Arsel atau nggak. Yang jelas, Arsel nggak pernah lakuin hal yang ada di foto!" kata Arsel.

"Arsel bakal kasih bukti ke Papah kalau semua itu rekayasa. Kejadian sebenarnya nggak seperti yang Papak kira!" sambungnya.

Arsel langsung pergi ke kamarnya di lantai dua. Tak lama kemudian, dia turun lagi setelah berganti pakaian, tapi begitu saja dia melengos ke pintu depan tanpa berkata dia mau pergi ke mana, bahkan tanpa melirik Teo sama sekali.

"Dan sekarang kamu tidak sopan ke papamu sendiri, Sel! Ini pasti gara-gara Amel!" kata Teo, setengah berteriak.

Arsel tak menghiraukannya. Dia berjalan ke garasi, menyiapkan motor ninjanya.

***

Di rumah sakit...

"Permisi," Arsel mengetuk pintu kamar inap tempat ayahnya Amel dirawat.

Di dalam, Melki sedang terbaring di ranjang pasien, ditemani oleh Amel yang duduk di samping kanannya. Amel sedang menyuapi ayahnya itu.

Mata Amel dan Arsel sempat bertemu sebentar, tapi Amel segera mengalihkan pandangannya ke hal lain.

"Eh, Arsel. Kamu ke sini?" sambut Melki, tersenyum teduh.

"Iya, Om. Saya mau ngobrol sama Amel. Boleh, Om?" tanya Arsel.

"Oh, iya. Boleh," jawab Melki. "Mey, ngobrol dulu aja sama Arsel di luar. Ayah bisa makan sendiri kok."

Amel memasang muka kesal, tapi tanpa melihat Arsel.

"Ngobrol apa, ya? Aku lagi sibuk, Sel," kata Amel ketus.

"Bentar aja, Mel. Nggak akan lama. Janji," desak Arsel.

Amel tidak menggubris itu semua. Dia tetap lanjut menyuapi ayahnya yang sedang berbaring.

Arsel tahu kenapa Amel mendiamkannya seperti ini. Pasti tadi pagi Amel dipanggil papahnya. Tapi, dia tak mungkin pergi begitu saja tanpa sempat bicara dengan Amel untuk membahas hal itu.

Arsel pun memutuskan untuk menunggu. Dia berdiri di ambang pintu, menatap Amel seperti seekor kucing menatap orang yang memeliharanya.

"Mey, itu kasihan Arsel nunggu. Ayah bisa makan sendiri kok. Ayo kamu keluar dulu sana," pinta Melki Amel.

"Udah selesain makan siang Ayah dulu," kata Amel ketus.

Melki menghela napas. Dia jadi merasa tak enak pada Arsel.

"Nggak apa-apa, Om. Saya tunggu di luar saja," ucap Arsel, sebentar kemudian dia menghilang dari pandangan mereka.

"Mey, kenapa? Ada masalah sama Arsel?" tanya Melki.

"Nggak apa-apa kok, Yah. Nggak ada masalah juga. Aku lagi sedikit bete aja," jawab Amel.

"Kalo kamu ada masalah sama dia, diobrolin baik baik aja, ya. Oke?" pintanya.

Amel tak menjawab, hanya terus menyuapi ayahnya.

Setelah Ayahnya selesai makan, Amel pergi keluar untuk menghampiri Arsel.

Terlihat Arsel sedang duduk di bangku panjang di depan kamar inap, sama sekali tak melakukan apa pun. Amel duduk di sebelahnya.

"Ayah lo udah makannya?"

"Udah kok. Mau ngobrolin apa?"

"Mmm, gue mau minta maaf, Mel."

"Soal?"

"Foto itu."

Hening sejenak. Mereka berdua hanya saling bertatapan tanpa mengatakan apa pun.

"Harusnya aku yang minta maaf, Sel. Aku bakal jauhin kamu kok," ujar Amel sambil memalingkan muka.

"Loh, jangan gitu dong, Mel. Lo nggak usah turutin apa-apa yang bokap gue minta," protes Arsel.

"Tapi aku nggak enak sama kamu, Sel. Lagian bisa aja papahmu itu benar. Aku ini cuma bawa masalah ke hidup kamu."

"Enggak, Mel. Nggak bener itu. Sama sekali nggak bener."

Kembali hening. Amel mengarahkan matanya ke pintu kamar inap. Arsel sendiri terus memandangi wajah Amel, khususnya matanya.

"Mel, gue mau cari siapa dalang di balik foto hasil editan itu. Lo mau bantu gue?" tanya Arsel.

Amel menatap Arsel. Mata mereka kembali saling menelisik seperti tadi.

"Ayo kita selesain masalah ini sama-sama, Mel," bujuk Arsel.

Amel menghela napas, kemudian bertanya, "Memangnya apa yang mau kamu lakuin, Sel? Gimana kamu bakal nyelesain masalah ini?"

Arsel terdiam sebentar, tampak berpikir.

"Aku punya ide," katanya kemudian. "Aku punya teman yang bisa bantu kita nemuin orang yang kita cari ini."

...


Ada saja masalah yang datang ke dalam hidup mereka.

Kira-kira siapa ya, pelakunya?

Komen sebanyak-banyaknya, biar aku semangat updatenya, guys!!

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang