Pacar Nih?

7 2 1
                                    


"Siapa?" tanya Amel, menatap Arsel dengan garis vertikal di antara kedua alisnya.

"Gue ada temen hacker. Kayaknya dia bisa bantu gue deh. Bentar gue telpon dulu," kata Arsel sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

Drrtt!

Panggilan tersambung. Dua detik kemudian yang ditelepon Arsel itu menjawab panggilan.

"Halo, Rem. Lo bisa bantu gue gak?" tanya Arsel.

Rema adalah teman basket Arsel dari sekolah lain. Dia haarp Rema bisa membantunya memecahkan masalahnya ini.

"Bantuan apaan, Bro?"

"Gue lagi ada masalah. Lo bisa cari orang lewat foto, kan? Masalah bayaran, itu gampang."

"Oh gampang lah itu mah. Kagak usah bayar. Kayak sama siapa aja elah lo."

"Kita ketemu di Cafe Derasia bisa?"

"Sekarang, Bro?"

"Yoi."

"Oh, oke deh. Bentar gue otw."

Percakapan via telepon itu berakhir. Arsel memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan menatap Amel.

"Lo bisa temenin gue ketemu dia? Biar kita selesain masalah ini berdua," pinta Arsel.

Amel menatapnya beberapa lama, seperti sedang menakar seserius apa Arsel dengan niatnya menyelesaikan masalah mereka.

Akhirnya, dia berkata, "Ya udah. Tapi tunggu bentar. Aku mau nitipin Ayah dulu ke suster," kata Amel.

Arsel mengangguk. Amel berdiri dan kembali ke kamar inap.

...

Di Cafe Derasia, sekitar setengah jam kemudian...

Amel dan Arsel tiba lebih dulu. Rema belum datang, mungkin terjebak macet.

Mereka berdua masuk, jalan beriringan layaknya pasangan. Orang-orang melirik mereka dan terlihat iri. Memang mereka ini sangat cocok. Yang satu tampan dan yang satu cantik.

Kafe itu tidak terlalu ramai. Interiornya cantik dan estetis, dengan banyak spot foto yang bagus. Sangat Instagramable.

Arsel membawa Amel ke sebuah meja di dekat jendela.

"Duduk, Mel," kata Arsel, menarik sebuah kursi untuk Amel dan membersihkannya dulu dengan tangannya.

Amel menatap Arsel heran. Kenapa dia melakukan itu? Seolah-olah mereka pacaran saja. Kan tidak.

"Kenapa?" Arsel melihat Amel menatapnya bingung.

"Nggak apa-apa, kok. Emang kenapa?" Amel malah berbalik nanya.

Arsel mengangkat bahu, lalu duduk di kursinya.

Kini mereka hadap-hadapan. Di meja persegi yang kecil itu—untuk dua orang—mereka benar-benar terlihat seperti pasangan.

"Emm, Mel..."

"Kenapa?"

Arsel membuka mulutnya, terdiam sebentar, lalu berkata, "Nggak jadi."

Amel mengernyitkan kening, merasa tingkah Arsel tak jelas.

Mereka sendiri saling mengalihkan pandangan, menghindari bertatapan mata.

Arsel berharap Rema bisa cepat-cepat. Kecanggungan ini membuatnya tak nyaman.

"Sel, lama banget temen kamu datengnya," keluh Amel.

"Nggak tau nih. Udah gue chat sih, tapi belum dibales. Macet kayaknya," tanggap Arsel.

Selesai di situ. Kecanggungan yang mengganggu itu kembali. Di dalam hatinya Arsel merutuki dirinya karena tak bisa merangkai obrolan yang mengalir.

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang