Tatapan Yang Liar

8 2 1
                                    


Di rumah sakit...

Amel berjalan dengan langkah-langkah cepat, mengikuti para nakes yang membawa ayahnya ke ruang IGD. Lorong yang ditempuhnya terasa panjang. Perasaan takut yang dulu pernah dirasakan Amel kembali mendatanginya.

Sejujurnya, kalau bisa memilih, dia tak mau dekat-dekat lagi dengan IGD. Itu mengingatkannya pada ibunya yang dulu meninggal pascaoperasi.

Setelah ayahnya dimasukkan ke IGD, Amel duduk di salah satu kursi di ruang tunggu, tangannya gemetar.

Sesekali dia menoleh ke pintu IGD, berharap pintu itu akan terbuka dan dokter muncul mengabarkan hal baik.

Tapi tentu, itu tak terjadi. Para dokter dan suster di dalam sana masih butuh waktu untuk menangani kondisi ayahnya.

Lagi-lagi Amel teringat mendiang ibunya. Dadanya berdebar-debar saat dia menyentuhnya.

'Ayah, jangan tinggalin aku,' ucapnya dalam hati. Tanpa disadarinya, air matanya menetes dari matanya yang kiri.

Sejak ibunya meninggal beberapa tahun lalu, Amel hanya hidup berdua saja dengan ayahnya.

Sang ayah tak menikah lagi, sesuatu yang diam-diam disyukuri Amel. Tapi kadang dia sedih melihat ayahnya kelelahan dan tak ada yang menemaninya dan mengurusnya seperti dulu. Padahal, ayahnya itu selalu melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk mengurus Amel.

Setelah Amel menunggu dua jam, akhirnya pintu ruang IGD terbuka dan dokter keluar. Amel langsung berdiri dan menghampiri si dokter.

"Bagaimana kondisi ayah saya, Dok? Dia berhasil diselamatkan, kan?" tanyanya khawatir.

"Keluarga dari Bapak Melki?" tanya si dokter sambil menatap Amel.

"Iya, Dok. Saya putrinya," jawab Amel.

"Syukurlah masih sempat. Sekarang, ayahmu sudah bisa dipindahkan ke kamar inap. Tapi dia masih harus istirahat total dulu. Nanti temani saja sambil pantau situasi detak jantungnya, ya," jelas si dokter.

"Baik, Dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan ayah saya. Terima kasih, Dok!" kata Amel sambil membungkuk sedikit.

Si dokter tersenyum. Dia kemudian meminta Amel menunggu dulu di situ sementara dia sendiri pergi. Tak lama kemudian, dua orang suster mendorong brankar tempat ayahnya berbaring keluar dari ruang IGD.

Amel menghela napas lega sambil mengelus dada.

'Alhamdulillah, Ya Allah. Makasih sudah mengabulkan doaku,' ucapnya dalam hati.

Beberapa lama kemudian, Amel dan kedua suster itu memasuki sebuah ruang inap yang bisa diisi oleh empat pasien.

Itu memang kamar inap biasa, bukan kamar inap VIP. Sebenarnya Amel ingin ayahnya dirawat di kamar inap VIP supaya dia tak terganggu oleh pasien lain. Tapi, mereka tak punya uang, sedangkan biaya sewanya pasti sangat mahal.

Sementara ayahnya tertidur lelap di ranjang, Amel membereskan pakaian-pakaian dan hal-hal lainnya yang dia bawa dalam tas. Elektrokardiogram di sebelah kanan ranjang menunjukkan detak jantung ayahnya yang stabil.

Selesai membereskan semua barang yang dia keluarkan dari tas, Amel duduk di kursi di samping ranjang pasien. Perutnya berbunyi. Dia baru ingat kalau dia belum benar-benar makan siang. Tadi di kantin sekolah dia hanya ngemil siomay, itu pun sedikit saja porsinya.

'Kayaknya aku harus makan sesuatu,' pikirnya. 'Tapi, aku nggak mungkin ninggalin ayah sendirian. Nanti gimana kalo terjadi apa-apa?'

Perut Amel kembali berbunyi. Kepalanya mulai berat. Dia benar-benar harus makan sesuatu. Sayangnya dia tak membawa camilan apa pun di tas yang dibawanya tadi.

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang