"Ini Chika, kan, Sel? Beneran Chika?" tanya Amel.
"Kayaknya sih gitu," jawab Arsel pendek.
Amel mengarahkan matanya ke layar ponsel lagi. Memang benar, sosok di foto profil itu adalah Chika, teman sekelasnya.
"Udah gue duga dia dalangnya. Bener-bener kelewatan tuh orang. Awas aja. Bakal gue kasih dia pelajaran!" kata Arsel kemudian, matanya penuh amarah.
Melihat itu Rendi jadi ketakutan. Dan bukan hanya Arsel yang terlihat begitu marah, Amel pun begitu. Dia mulai berpikir kalau dia sudah melakukan kesalahan besar.
"Mas, s-saya... boleh pergi sekarang?" tanya Rendi, menatap Arsel segan.
"Nggak boleh. Gue belum selesai sama lo," jawab Arsel.
"A-apalagi, Mas? S-saya... saya sudah kasih tau siapa dalangnya."
"Lo harus bikin gue percaya kalo lo ga akan lakuin hal kaya gini lagi. Kalo lo nggak bisa ngeyakinin gue, jangan harap lo bisa pergi gitu aja."
Rendi mendengar itu jadi ketakutan. Mukanya pucat.
"A-apa yang harus saya lakuin, Mas? S-saya bakal lakuin apapun, biar Mas percaya sama saya," ujar Rendi.
Arsel memberi Rendi tatapan intimidatif, berkata, "Lo harus bantu gue disaat gue butuh lo, kapan pun itu. Kalo lo ga bisa bantu gue, orang tua lo bakal tau kalo lo cari duit dengan cara yang salah. Paham lo?"
Mata Rendi membesar karena takut. Kalau sampai orangtuanya tahu hal-hal buruk yang dia lakukan selama ini, bisa-bisa dia dimarahi habis-habisan. Dia tak mau itu terjadi.
"O-oke, Mas, saya bakal lakuin itu. K-kalo Mas butuh saya, Mas tinggal hubungi saya," kata Rendi.
Arsel mengangguk puas. "Sekarang lo boleh pergi!" ucapnya.
"B-baik, Mas. T-terima kasih, Mas," balas Rendi, mengangguk segan beberapa kali pada Arsel.
Dan Rendi pun berdiri dan pergi. Rema memperhatikan kepergian Rendi sampai punggungnya hilang dari pandangannya. Kini sisa mereka bertiga di meja itu.
"Sekarang apa yang bakal lo lakuin, Bro?" tanya Rema beberapa saat setelahnya.
"Ada deh. Biar gue aja yang gerak nanti," jawab Arsel.
"Si paling bergerak sendiri. Yowes, gue cabut duluan, ya," balas Rema sambil berdiri.
"Balik sekarang? Gue transfer malem ini duitnya, ya," kata Arsel sambil mendongak menatap temannya itu.
"Kagak usah lah, anjir. Santai aja kali. Kaya sama siapa aja lo."
"Udah nanti terima aja. Nggak enak gue kalo enggak bayar lo. Btw, thanks ya!"
"Oke dah. Lo berdua mau pacaran dulu, ya?"
"Hah?"
Pipi Arsel tiba-tiba memerah. Saat dia menatap Amel dan Amel balas menatapnya, dilihatnya pipi Amel juga memerah.
Cepat-cepat Amel memalingkan muka. Arsel menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Hahaha. Bercanda gue, Bro. Enggak usah salah tingkah gitu dong," kata Rendi sambil terkekeh.
Arsel memelototinya. "Pulang sekarang atau gua tendang?" ancamnya.
Rendi tersenyum lebar sambil memberinya simbol "V" dengan dua jari tangan. Dia pun pamit, keluar dari kafe tersebut.
Sekarang tinggal Amel dan Arsel saja di meja itu. Gara-gara keisengan Rendi tadi, kini mereka jadi canggung satu sama lain. Amel menyeruput minumannya dan menaruh gelasnya lagi di meja. Arsel melakukan hal yang sama, sambil sesekali mencuri pandang pada Amel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle Love
RomanceAmel Dzakarin menjadi sasaran perundungan di sekolah barunya. Arsel dan Raja yang datang membantunya justru menambah masalah Amel. Raja dan Arsel memperebutkan Amel, untuk mendapatkan hatinya. Kedekatan Amel dengan kedua pria tersebut, membuahkan pa...