"Apa-apaan kalian ini?! Dera, Megan, cepat lepaskan dia!" perintah wanita berseragam guru itu.
Dia adalah Bu Ami, guru BK di sekolah tersebut. Dera dan Megan terperanjat kaget, langsung melepaskan Amel seperti yang diminta Bu Ami.
Chika, sementara itu, menatap Bu Ami dengan kesal. Tak seperti kedua temannya, Chika tak terlihat takut sedikit pun.
Bu Ami menatap Chika tajam, kemudian berkata, "Kalian semua ikut saya ke ruang BK! Sekarang!"
Chika memasang muka sebal. Di dalam hati ya dia menggerutu. Dera dan Megan melirik Chika dengan muka cemas.
Bu Ami sudah biasa menangani siswa-siswi yang gemar bikin masalah. Dan meski dia tahu ayahnya Chika adalah donatur utama yayasan yang menaungi sekolah itu, dia tidak mengistimewakan Chika.
Jika ia tidak bisa bersikap adil, para siswa tidak akan bisa mendapatkan haknya. Ia tidak buta oleh kekuasaan. Ia bukan tipe orang yang akan patuh para pemegang kuasaan yang bertindak semena-mena.
Kini Bu Ami menatap Amel. Dia belum pernah bicara dengan Amel sebelumnya mengingat Amel baru minggu bersekolah di situ dan tidak pernah berbuat masalah.
Melihat rambut Amel yang berantakan dan wajahnya yang coreng-moreng, Bu Ami geleng-geleng kepala.
"Saya tunggu kalian berempat di ruangan saya! Jangan sampai ada yang tak datang!" tegasnya. Dia lalu balik badan dan keluar dari toilet lebih dulu.
Setelah Bu Ami menghilang dari pandangan mereka, Dera dan Megan menghela napas lega. Chika menatap kedua temannya itu bergantian, tampak kecewa. Kemudian dia menatap Amel yang berdiri tepat di hadapannya.
"Heh lo, awas lo kalo ngadu ke Bu Ami! Kalo lo buka suara di sana, lo bakal tanggung akibatnya. Paham lo?!" ancam Chika, mendekatkan wajahnya ke wajah Amel.
"Asal lo tau, gua bisa bikin lo di keluarin dari sini. Lo ga usah macem-macem!" lanjutnya.
Amel hanya menatap Chika tanpa mengatakan apa pun. Chika pun akhirnya mengajak Dera dan Megan keluar dari toilet.
Sendirian lagi di toilet, Amel kembali bercermin. Didapati kedua pipinya yang telah dicorat-coreti dengan lipstik itu. Bentuk bibirnya tak keruan.
Amel merasa dadanya sesak. Air matanya jatuh dengan deras.
"Kenapa...? Kenapa aku harus menerima perlakuan seperti ini...?" ratapnya, bahunya berguncang.
"Mel, lo baik-baik saja? Coba keluar bentar," ucap Arsel.
Amel terkejut. Dari suaranya itu Arsel sepertinya berdiri di depan pintu toilet cewek. Apa yang dia lakukan di situ?
Amel memaksakan tangisnya untuk terhenti. Cepat-cepat dia cuci mukanya; dia bersihkan coretan lipstik di kedua pipinya. Setelah itu dia berjalan ke pintu toilet dan keluar.
Benar saja, Arsel memang berdiri di situ. Dia menatap Amel dengan muka iba.
"Ini buat lo. Sabar, ya. Sorry gue nggak bisa bantu lebih," kata Arsel, menjulurkan tangannya yang kanan, menawarkan sapu tangan kepada Amel.
Amel memandangi sapu tangan itu dengan heran. Dia lalu menatap sepasang mata Arsel lekat-lekat, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya.
"Makasih, ya," kata Amel akhirnya, mengambil sapu tangan itu dan mengeringkan kedua pipi dan ujung-ujung matanya.
"Menurut gue, Mel, lo laporin aja semua yang udah dilakukan Chika sama gengnya itu ke lo. Mereka sudah keterlaluan," kata Arsel lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle Love
RomansaAmel Dzakarin menjadi sasaran perundungan di sekolah barunya. Arsel dan Raja yang datang membantunya justru menambah masalah Amel. Raja dan Arsel memperebutkan Amel, untuk mendapatkan hatinya. Kedekatan Amel dengan kedua pria tersebut, membuahkan pa...