"Ma, aku ngga mau ya punya assisten baru"
"Plis lah Maa"
"Aku tu CEO punya aissten dengan pakaian sexy itu biasa"
"Lianda Sanjaya!!!"
"Ikutin kata mama, atau mama kirim kamu kembali ke luar negeri !!!"
"Oke fine ma, 30 hari"
"Kalau dalam 30 hari aku...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara tanda pintu terkunci terdengar ditelinga Sabila, bersamaan dengan itu Lian juga mencabut kunci dari tempatnya, mengangkat tangan sebelah kanannya dan menggoyangkan kunci itu kearah Sabila, seolah ingin memberi tahu bahwa dia tidak akan bisa kabur sekarang, sebelum berakhir dengan menyimpan kunci disaku celananya.
Sejujurnya Sabila sangat takut saat ini, dia takut Lian akan menyakitinya, tangannya mulai begetar, tapi dia tetap berusaha setenang mungkin agar tidak memancing amarah Lian lebih dalam lagi.
Lian menarik napasnya dalam, lalu mulai berbicara " Saya bingung sama kamu, kenapa selalu saja membuat tensi saya naik" ucap Lian membuka pembicaraanya
Sabila mencoba tetap tenang, perlahan mundur dari tempatnya dan duduk di tepian ranjang Lian, dengan satu tangan yang dia letakan diatas pahanya, dan satunya lagi mengelus pergelangan tangan yang tampak memerah karena cengkraman kuat Lian saat menariknya tadi. "Maaf" Hanya satu kata yang Sabila bisa katakan
Lian membelai kasar rambutnya, dia masih emosi tapi saat ini emosinya bukan karena Sabila melawannya, tapi karena melihat Sabila dari kejauhan, kakinya yang menggantung di tepi ranjang bergetar, keringat dingin mulai bermunculan, belum lagi kemerahan dipergelangan tangannya, Lian tahu Sabila saat ini sedang takut dengannya.
Memang Lian ingin Sabila berhenti melawannya, tapi bukan kondisi ini yang ingin dia saksikan "Kenapa kamu? Takut?" "Ngga, Bapak mau bicara apa tadi sama Saya, mungkin jika Bapak memang sudah tenang bisa kita bicarakan bersama" Sabila berusaha melawan rasa takutnya
Lian menjadi semakin canggung, lalu dia berjalan mendekati Sabila, sebenarnya Lian hanya butuh jawaban dari kejadian-kejadian belakangan ini tetapi belum bisa Ia dapatkan dari Sabila sampai emosionalnya ikut memuncak.
"Kenapa kamu ngga datang langsung antar bunganya kemarin?" "Maaf pak, tapi perjalanan dari rumah saya ke apart, apart ke resto dan resto kerumah itu cukup jauh, dan saat itu kondisi kaki Saya sedang sakit, saya ngga bisa bawa mobil sendiri dan harus menggunakan taxi online, jadi saya memilih gosend agar bunganya bisa tiba tepat waktu"
Lian teringat kembali cerita Fernan tentang kecelakaan yang Sabila alami, yang menyebabkan luka di kaki kanan dan dahinya
"Terus kenapa kamu bisa sama papa mama kesini?" kamu pasti cari perhatian, mau papa mama menilai kalau kamu mengurus Saya dengan sangat baik kan?"
"Tapi nyatanya memang tidak ada niat seperti itu, kalau saja pak Fernan tidak menelpon saya karena tidak bisa menghubungi Bapak mungkin saya juga tidak akan ada disana, untuk tante Lidya dan om Hartono bukan saya yang menginformasikan tapi pak Fernan karena dia ngga bisa datang sedang ada di Bandung" Sabila berusaha menjelaskan dengan mencubit-cubit kecil pahanya menandakan bahwa buka suaranya saat dalam kondisi takut seperti ini membutuhkan dorongan kekuatan.
Lian memejamkan matanya, memijat keningnya kuat hingga meninggalkan kemerahan disana, pernyataan Sabila malam ini membuat dia mencerna bahwa kemarahannya yang berlebihan untuk Sabila dua hari ini tidak beralasan.