KALUT II

305 44 2
                                    

POV Milk

"Perih dan silau." Itu yang kurasakan saat aku mencoba membuka mata dan melihat sekitar. Sepertinya aku masih di rumah sakit. Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi rasanya sangat berat dan kaku. Tenggorokanku terasa kering sekali, seolah aku sudah tidur terlalu lama. Tapi tunggu dulu... 

"Kenapa aku bisa ada di sini?" aku berusaha mengingat.

"Argh!" Aku mengerang pelan, aku frustrasi karena tidak ada yang kuingat selain momen ketika aku sedang berkendara untuk segera bertemu dengan pujaan hatiku, tapi tiba-tiba aku terkejut oleh mobil yang melaju kencang ke arahku dan aku tak ingat lagi.

Terdengar suara pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya masuk ke ruangan. Wajahnya tampak lega dan sendu.

"GUN? Puji Tuhan, kau sudah bangun, nak," ucapnya dengan nada sendu penuh harapan. Dia segera bergegas keluar untuk memanggil dokter.

Aku hanya bisa melihatnya dengan bingung. "Kenapa ada wanita tua di sini, dan kenapa dia memanggilku dengan nama lelaki?" pikirku. Apakah mungkin dia salah kamar? Atau...

Saat aku mencoba mengingat hal lainnya, dokter masuk bersama wanita itu. Mereka mulai memeriksa kondisiku, memperhatikan setiap detail.

"Bagaimana keadaannya dok?" tanya wanita itu cemas.

"Kondisinya sudah cukup stabil. Hanya saja, tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, jadi sulit baginya untuk mengeluarkan suara atau menggerakkan tangan dan juga masih perlu waktu untuk pulih sepenuhnya. Syukurnya dia sudah melewati masa kritis," jelas dokter itu dengan nada yang tenang dan professional.

Aku hanya bisa terdiam, menyerap semua informasi ini dengan bingung. Wanita itu tampak begitu peduli padaku, seolah aku adalah anaknya. Tapi di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku tahu ini pasti ini bukan tubuh dan juga bukan hidupku.

Setelah dokter pergi, wanita itu duduk di sampingku, menggenggam tanganku dengan lembut. "Gun.. kau membuat bibi sangat khawatir. Semua orang di rumah menunggumu. Kami semua selalu berdoa untukmu, dan  Ayah mu sedang berada di perjalanan ke sini," ucapnya dengan suara yang bergetar dan hampir menangis.

Kata-kata itu menusuk hatiku. "GUN? BIBI? AYAH?" pikirku, mencoba memahami situasi ini. "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Aku ingin bertanya, ingin tahu siapa wanita ini, siapa aku sekarang. Tapi tubuhku masih terlalu lemah untuk mengeluarkan suara.

Sementara aku tenggelam dalam kebingungan dan kecemasan, wanita itu terus berbicara, menceritakan hal-hal yang seharusnya berarti bagiku, tapi terasa asing. Aku tidak mengenali satu pun dari cerita yang ia katakan, tidak ada yang terasa nyata bagiku.

"Apakah ini adalah kehidupan baruku? Apakah aku harus menjalani hidup sebagai 'Gun'?" pikirku. Tubuhku gemetar bukan karena rasa sakit, tetapi karena ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Apakah aku benar-benar harus menerima ini?"

Wanita itu kemudian beranjak pergi untuk mengambil sesuatu dari luar kamar, meninggalkanku sendirian dalam keheningan. Aku memandang ke luar jendela, melihat matahari yang mulai tenggelam, dan merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku.

Di saat itulah, bayangan samar sosok bersayap dari rumah sakit yang sebelumnya muncul di benakku, seolah dia sedang mengawasi dari kejauhan, menunggu keputusan yang akan kuambil.

"Apa ini kesempatan kedua yang dia bicarakan? Apakah aku harus hidup sebagai orang lain untuk kedua kalinya?" gumamku dalam hati.

Di antara kebingungan dan ketakutan, aku merasa ada keputusan besar yang harus diambil. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar memilih antara hidup atau mati, tetapi memilih bagaimana aku akan menjalani hidup ini.. apakah aku akan menerima nasib ini atau mencari cara untuk mengakhiri semua ini. 











- TBC -

KALUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang