KALUT XII

314 54 4
                                    

Setelah lebih dari satu tahun kepergian Milk, Gun (Milk) akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat abunya disimpan. Kali ini, ia datang sendirian, tanpa Love. Love sama sekali tidak tahu tentang rencana ini. Gelisah dan rindu bercampur di dalam dada Milk ketika dia melangkah masuk ke tempat itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah mendekatkannya pada kenangan yang selama ini berusaha dia hindari.

Dia berdiri di depan tempat abunya, terdiam lama, menatap sisa dirinya yang kini hanya berupa abu. Rasanya tak nyata. Betapa hidupnya dulu penuh dengan tawa dan canda, tapi sekarang hanya tersisa kesunyian dan abu yang dingin.

Air mata mengalir begitu saja ketika pandangannya jatuh pada barang-barang kenangannya, foto-foto yang dulu diambil bersama teman-temannya, yang sekarang tersimpan di sana. Hatinya terasa hancur. Rasa kehilangan yang ia kira sudah mereda, kini datang menghantam dengan lebih kuat. Terutama ketika melihat tumpukan surat di samping abunya. Dengan tangan gemetar, Milk mengambil salah satu surat. Perlahan, dia membuka lipatan kertas itu dan mulai membacanya.

"Milk, kamu selalu jadi sahabat terbaik. Aku merindukan tawamu, keceriaanmu... Dunia terasa sepi tanpamu..."

Suaranya tertahan di tenggorokan. Air mata tak terbendung lagi. Setiap kata dalam surat itu seolah menghantam hatinya, membawa kenangan-kenangan yang ia pikir sudah terkubur. Mereka semua merindukannya, dan Milk pun merindukan mereka—lebih dari yang bisa ia ungkapkan.

Di tengah isakan kecilnya, dia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki mendekat. Panik, Milk buru-buru mengenakan kacamata hitam dan masker yang sudah dia siapkan sebelumnya, mencoba menyembunyikan wajahnya. Dengan cepat, ia berpindah ke depan tempat abu orang lain, berharap tidak dikenali.

Sesosok wanita muncul di hadapannya. Ternyata, itu Ciize—sahabat lamanya, yang dulu sangat dekat dengannya. Ciize datang membawa setangkai bunga, lalu meletakkannya di depan abu Milk dengan hati-hati. Saat itu, Ciize mulai menangis. Melihat sahabatnya menangis begitu, hati Milk semakin tersayat.

Tanpa sadar, Milk bergerak mendekat dan menepuk punggung Ciize, mencoba menenangkannya.

Ciize menoleh, terkejut melihat pria yang tidak asing tiba-tiba menyentuhnya. "Maaf... aku hanya ingin menenangkanmu," ucap Milk cepat, berusaha menutupi kegugupannya.

Ciize mengerutkan kening, menatap pria itu dengan curiga. "Gun? Ngapain kamu di sini? Nemenin Love?" tanyanya dengan suara parau, masih terisak.

Milk terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ada dorongan kuat untuk mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya, tapi situasinya terlalu rumit. "Ah, iya... tadi aku lagi nemenin Love di sini, tapi dia lagi nggak enak badan, jadi dia pulang lebih dulu," jawab Milk bohong, berusaha terdengar meyakinkan.

Ciize memandangnya lama, dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi akhirnya hanya mengangguk pelan. "Kalau gitu, aku pamit duluan ya. Salam buat Love," ujarnya dengan suara pelan, meski ragu masih terlihat di wajahnya. Ia berbalik hendak pergi, tetapi Milk tanpa sadar memanggilnya.

"Ciize, tunggu!" panggil Milk, lebih keras dari yang diharapkannya. Ciize berhenti dan menoleh, bingung.

"Apakah... kamu mau makan siang bersamaku? Aku tak tega melihatmu menangis seperti tadi," ajak Milk cepat, suaranya sedikit gemetar.

Ciize mengernyit, tampak ragu. "Terima kasih sudah mengajak ku, tapi kamu makan siang saja sama Love. Aku lagi ingin sendiri sekarang," katanya dengan pelan, berusaha menolak secara halus.

"Kumohon," Milk menyela, berusaha keras menutupi kegugupannya. "Aku tahu rasanya kehilangan seseorang itu sulit. Setidaknya biarkan aku menemanimu sebentar. Siapa tahu aku bisa sedikit menghiburmu. Dan juga, Love tadi sudah pulang duluan. Jadi... aku sendirian sekarang," lanjut Milk, mencoba membuat situasi terdengar lebih masuk akal.

KALUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang