KALUT XIX

204 48 1
                                    

Lima bulan telah berlalu sejak malam yang mengubah segalanya. Lima bulan penuh dengan keheningan, jarak, dan kebingungan. Love merasa dirinya seperti terombang-ambing di antara kenyataan dan kepedihan. Dia selalu mencoba untuk melupakan semua ini, tapi setiap kali dia akan menutup mata, bayangan Milk dalam tubuh Gun selalu menghantui pikirannya.

Di malam-malam panjang, ketika dia sendiri di kamarnya, Love seringkali memandang ponselnya, membaca pesan yang dikirim oleh Milk, jari-jarinya melayang di atas nomor Milk. Berapa kali dia hampir menghubungi Milk, ingin mendengar suaranya, ingin menuntut lebih banyak penjelasan. Namun, dia tetap menahan diri. Ada rasa bingung, ketakutan, rasa sakit setiap dia mengingat semua ini.

---

Di sisi lain, Milk merasa setiap harinya semakin berat. Kehilangan Love telah menciptakan lubang besar di hatinya, lebih besar dari apa yang dia kira akan terjadi. Milk menatap langit malam dari balkon, menggenggam ponselnya. Sudah lima bulan ini dia terus mencoba menghubungi Love, berusaha meminta maaf dan menjelaskannya lagi, tetapi tak ada satupun pesan yang dibalas. Bahkan Namtan, yang dulu dekat dengan Love, kini juga dijauhi. Love merasa dikhianati oleh keduanya, terutama Namtan yang tahu segalanya namun tetap diam.

"Harusnya... gua bilang dari awal," gumam Milk penuh penyesalan.

Namtan, yang duduk di sampingnya, mendesah pelan. "Sorry Milk, gua juga salah. Gua kira, dengan cara gua bantu lu buat ngejelasin ulang bakal buat semuanya lebih mudah diterima. Tapi ternyata malah makin memperburuk keadaan."

Milk mengalihkan pandangannya ke Namtan. "Nggak apa-apa, Tan, makasih lu udah bantu. Mungkin Love masih butuh waktu yang lama."

"Tapi ini udah lima bulan, loh?" potong Namtan dengan nada putus asa. "Dia benar-benar menghindari kita semua, Milk. Gua bahkan coba ngontak dia beberapa kali, tapi gak ada satupun yang dibalas. Dia pasti benar-benar kecewa."

Milk hanya bisa terdiam. Dia paham perasaan Love. Kalau dia ada di posisi Love, mungkin dia juga akan merasa dikhianati, ditipu oleh orang-orang yang dia percayai.

Namtan menatap Milk dengan prihatin. "Tapi gua yakin, Milk. Love bakal maafin lu kok, lu tenang aja"

Milk menghela napas panjang. "Semoga aja ya, Tan. Tapi gua bakal coba terus. Gua nggak bisa biarin semuanya terus kayak gini. Dia berhak tahu kalau gua masih mencintainya, dan gua nggak akan menyerah sampai setidaknya dia dengerin gua."

Namtan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Gua tahu lu cinta sama dia, Milk. Tapi kadang... ada hal-hal yang nggak bisa kita perbaiki cuma dengan kata maaf."

Milk tersenyum pahit. "Gua tahu itu, tapi gua nggak bisa nyerah. Gua gak mau kehilangan dia lagi, meskipun mungkin dia nggak akan pernah maafin gua."

Mereka terdiam beberapa saat, larut dalam pikiran masing-masing.

"Besok bakal gua coba lagi," ucap Milk tiba-tiba, memecah keheningan.

Namtan memandangnya dengan penuh simpati. "Ya semoga aja besok lu berhasil, semoga aja Love bisa ngertiin kalau lu juga terluka dalam situasi ini."

Milk menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam. "Iya... gua cuma mau dia tahu... gua cuma mau dia tahu kalau gua cinta dan gua nyesel udah gak jujur sama dia. Gua tahu ini nggak adil buat dia, tapi gua juga nggak pernah minta semua ini terjadi. Gua cuma... mau dia balik lagi dan maafin gua."

Namtan mengangguk pelan, paham betapa dalam perasaan Milk. "Gua bakal bantu lu terus Milk. Nanti gua coba ngomong sama Love lagi, meskipun dia mungkin nggak mau dengerin gua."

Milk tersenyum kecil, bersyukur masih ada Namtan di sisinya. "Makasih ya, Tan. Gua nggak tahu apa yang harus gua lakuin tanpa bantuan lu." Namtan mengangguk, mencoba memberi kekuatan.

---

Keesokan harinya, Milk memutuskan untuk menunggu di dekat kampus, berharap bisa bertemu Love. Sudah beberapa minggu Milk melakukan ini menunggu dengan harapan kecil bahwa Love akan memberinya kesempatan untuk berbicara. Namun, setiap kali Love melihatnya, dia hanya akan memalingkan wajah dan pergi.

Hari ini tidak jauh berbeda. Saat Love keluar dari kampus, Milk melihatnya dari jauh, dan seperti biasa, Love menghindari tatapannya. Tapi Milk tidak menyerah. Dia berjalan mendekati Love, mencoba untuk tidak terlihat memaksa.

"Love, aku cuma ingin bicara sebentar aja..." ujar Milk dengan suara memohon.

Love berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. Dia tampak bimbang sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Milk merasakan jantungnya berdegup kencang, tapi dia tidak menyerah. Dia mempercepat langkahnya, mencoba mengejar Love. "Aku mohon Love, aku minta maaf... Aku tahu kamu kecewa. Aku tahu kamu merasa aku dan Namtan membohongimu, tapi aku butuh kamu untuk mendengarkan penjelasanku..."

Love akhirnya berhenti, kali ini berbalik dan menatap Milk dengan mata yang penuh air mata. "Penjelasan apa lagi yang maunkamu kasih, Milk? Kamu sudah merusak segalanya! Kamu sudah berbohong padaku selama berbulan-bulan, tidak. Ini sudah setahun lebih loh. dan Namtan... dia tahu semuanya tapi dia dengan teganya tidak memberitahuku! Terus sekarang kamu ingin aku mendengarkanmu? Untuk apa? Untuk mendengar kebohongan yang lain?"

Milk merasa hatinya hancur melihat betapa hancurnya Love. Dia tahu ini akan sulit, tapi dia tidak pernah membayangkan rasa sakit yang Love rasakan akan sebesar ini.

"Aku tidak pernah bermaksud untuk berbohong," kata Milk dengan suara yang gemetar. "Aku cuma... aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya. Aku juga syok sama semua ini, aku takut kehilanganmu, Love. Aku takut kamu tidak akan pernah mau melihatku lagi kalau aku bilang yang sebenarnya."

Love menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Dan sekarang lihat apa yang terjadi. Aku sudah menjauh darimu, Milk. Aku tidak tahu siapa yang harus kupercaya lagi. Kamu atau Gun... siapa yang sebenarnya ada di sini?"

Milk menghela napas panjang, merasa putus asa. "Aku juga tidak tahu dimana Gun berada, Love. Yang aku tahu hanyalah bahwa jiwanya sudah pergi... Dan aku, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu, sama seperti dulu."

Love menutup wajahnya dengan tangan, air mata semakin deras mengalir. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Milk... Aku tidak tahu apakah aku masih bisa percaya padamu lagi."

Milk merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Love, tapi dia tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus dia hadapi. "Aku mengerti, Love. Tapi aku akan terus menunggu. Aku akan terus mencoba sampai kamu siap untuk berbicara denganku lagi. Karena aku tidak akan pernah menyerah pada hubungan kita."

Love tidak menjawab, hanya berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Milk.

- TBC - 

Jangan lupa pencet ⭐️ ya guys, makasih 🫶

KALUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang