KALUT VII

344 56 4
                                    

Milk POV

Dua minggu sudah berlalu sejak aku terakhir kali melihat Love. Perasaan bersalah dan bingung terus menghantui pikiranku. Di satu sisi, aku tahu aku harus meminta maaf, tapi di sisi lain, ada rasa takut yang membuatku ragu untuk bertemu dengannya.

Suatu hari, saat aku sedang membeli makan di kantin, Racha teman sekelas Love mendekatiku dan berkata,

"Gun, Love sudah tiga hari nggak masuk kuliah. Katanya dia sakit. Gua gatau masalah lu sama Love, tapi setidaknya lu coba liat kondisi pacar lu. Semenjak lu kecelakaan dan Milk pergi, Love gak pernah berhenti nangis dan selalu nyalahin dirinya sendiri. Gua harap lu tenangin dan temani dia bangkit." Racha menepuk bahuku dan berlalu.

Mendengar itu, hatiku langsung gusar. Pikiran tentang Love yang sakit membuatku gelisah sepanjang kelas. Aku tidak bisa fokus sama sekali, hanya memikirkan keadaannya. Aku tahu, aku harus menemuinya, tapi rasa takut dan kebingungan masih saja membayangi.

Selesai kelas, aku segera menuju supermarket. Aku membeli buah-buahan untuk Love dan entah kenapa tanganku mengambil beberapa tomat. Rasanya seperti refleks, karena dulu saat aku masih menjadi diriku sendiri, aku selalu membuatkan jus tomat untuk Love ketika dia sakit, meskipun dia tidak pernah menyukai tomat.

---

Akhirnya, aku berdiri di depan pintu rumah Love. Sudah delapan menit aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri. Setelah menenangkan diri, aku memutuskan untuk menekan bel. Setelah menunggu beberapa saat, aku mencoba sekali lagi dan akhirnya pintu terbuka.

Love berdiri di sana dengan wajah kesal yang berubah menjadi kaget saat melihatku. Aku hanya bisa tersenyum canggung, menggaruk leherku yang tidak gatal, sambil mengangkat belanjaan yang kubawa.

"Kamu... sakit, ya? Aku bawa ini buat kamu," ucapku pelan, mencoba mencairkan suasana.

Love hanya diam, sepertinya dia masih kesal. Tapi dia menyuruhku untuk masuk.

Di dalam, Love bertanya, "Apa kamu sudah memaafkan aku?"

Aku terdiam sejenak, dan aku lupa bahwa aku masih merasa kecewa, tapi kekhawatiranku pada Love mengalahkan segalanya. Mungkin, di dalam hatiku, aku masih mencintainya.

Aku tersenyum canggung dan berkata, "Lupakan yang kemarin. Aku sudah memaafkanmu. Aku juga minta maaf, karena selama ini telah membuat mu bingung."

Mendengar itu, Love tersenyum dan memelukku erat. Rasanya nyaman, seperti menemukan kembali sesuatu yang hilang. Setelah melepaskan pelukan, Love membuka belanjaan yang kubawa dan menemukan tomat di dalamnya.

Dia terdiam sejenak, menatap tomat itu dengan air mata yang mulai mengalir. "Lihat tomat ini... Aku jadi kangen Milk, Gun. Dia selalu buat jus tomat kalau aku sakit, terus maksa aku minum padahal aku nggak suka tomat," katanya dengan suara bergetar.

Hatiku terasa sesak mendengarnya. Melihat Love menangis seperti itu membuatku ingin berteriak, ingin memeluknya erat dan mengatakan bahwa aku adalah Milk, orang yang selama ini dia rindukan. Tapi, kenyataan yang ada membuatku terdiam, aku sudah terperangkap dalam tubuh ini.

Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa bersalah yang semakin dalam. Bagaimana mungkin aku bisa mengungkapkan yang sebenarnya tanpa menghancurkan hatinya? Sementara itu, Love masih menangis, mengenang masa-masa yang sepertinya hanya menjadi bagian dari masa lalu yang tak mungkin kembali.

Dan disaat itu, aku menyadari bahwa meskipun aku masih mencintainya, aku tak bisa kembali menjadi diriku yang dulu. Apa yang harus kulakukan sekarang adalah untuk menjalani hidup ini, meski dengan beban yang begitu berat.








--TBC -

KALUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang