Hari ini, pukul sepuluh Zeara memilih mengunjungi Gitano di tempat pengadilan. Di rumah sepanjang hari membuat Zeara jenuh, apalagi tidak ada teman berbicara. Bik Nia? Wanita itu terlalu sibuk membereskan rumah, dan saat Bik Nia beristirahat Zeara tidak ingin mengganggu wanita paruh baya itu.
Begitu juga dengan Naily dan Sebbie, mereka berdua sibuk bekerja. Naily sibuk sebagai reporter, dan Sebbie sibuk mengurus butik miliknya yang tengah dalam keadaan keritis.
Jika saja di sini ada Kerin, Zeara pasti akan menghabiskan waktu bersama wanita itu. Dengan berbagai kegiatan seru, tapi sayangnya Kerin pergi entah kemana.
Zeara memilih mengambil duduk di lorong pengadilan, sebelum kesini Zeara sempat menelpon kakaknya itu. Gitano bilang dia tengah mengadili kasus kejahatan korupsi yang dilakukan seorang anggota Parlemen.
Matanya menatap kearah seluruh tempat pengadilan, banyak orang berlalu lalang, ada Jaksa, pengacara, ob, dan lain-lain. “Kok mereka kaya sibuk banget, sih? Nggak cape apa? Jadi pengangguran dong, uang tinggal minta. Nggak usah cape-cape,” gerumel Zeara, menatap orang-orang di depannya.
“Seperti aku dong, tinggal minta minta minta, selesai. Uangnya dikasih!” Senyum Zeara mengembang mengingat dirinya tidak perlu bekerja keras, kakaknya selalu memenuhi kebutuhannya.
Dua puluh menit berlalu, Zeara masih melakukan aktivitas berbicara sendiri. “Pusing banget, banyak orang yang berlalu lalang. Kaki mereka nggak pegel apa?” gerutu Zeara heran.
“Mulut kamu tuh, Zea, nggak pegel apa nyerocos mulu? Nggak liat banyak orang yang liatin kamu? Dari tadi bicara sendiri kaya orang gila.” Gitano muncul dari balik pintu, menatap sinis adiknya.
Tadi saat baru keluar dari ruangan pengadilan, salah satu rekan kerja Gitano menghampirinya dan berkata ..., “Gitano, saya melihat adikmu di lorong satu. Dia terus berbicara sendiri, apa dia tidak apa-apa?”
Mendengarkan itu rasanya Gitano ingin menghilang dari muka bumi ini, Gitano hanya bisa memberikan sebuah senyum. “Tidak, dia hanya sedang mengeluarkan unek-unek di kepalanya.”
Kembali ke masa sekarang, Zeara memasang wajah memelas. “Lama banget, Zea pegel nih ...,” adunya.
Gitano mengabaikannya, matanya tertuju menatap benda di samping Zeara, sepertinya itu bekal makanan. Ternyata adik jeleknya ini perhatian sekali, Gitano mengambil kotak bekal itu. “Buat kakak, nih?”
Kening Zeara mengernyit tak suka, merebut kotak bekal itu. “Enak saja! Aku belum makan, Bik Nia siapin ini buat aku. Karna di rumah nggak ada temen makan, ya udah aku kesini.”
Gitano menatap adiknya pasrah, tersenyum paksa. “Terus kakak makan apa?”
“Ya beli lah, ntar Zea minta, ya?! Zea mau ayam geprek, kakak beli itu, ya?” Zeara mengedip-ngedipkan mata cepat, mengharapkan Gitano mengabulkan permintaannya.
Tapi sepertinya tidak, pria itu malah pergi menjauh. “Ayo ke kantin, ngapain diem?” Gitano berucap tampa melihat Zeara.
Zeara patuh, mengambil langkah lebar untuk mensejajarkan langkahnya dengan langkah Gitano. “Kakak nggak cape kerja terus?” tanya Zeara tiba-tiba.
“Nggak, kalo kakak nggak kerja, kita makan pake apa?” Gitano merangkul adiknya gemas.
“Nasi sama lauk pauknya, lah! Pake nanya.”
Gitano menarik nafas dalam, dia salah memilih kalimat. Berbicara dengan Zeara memang harus memilih kalimat yang tepat. “Nasi di beli pake apa, Zearaa? Pake uang, dapet uang dari mana, Zearaa? Dari kerja. Otomatis kalo kakak nggak kerja ... Kita tidak punya uang. Jika tidak ada uang, kita tidak bisa beli apaa, Zearaa ...?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Obsesi
RomanceKarna sebuah insiden penculikan, Zeara memutuskan untuk mempunyai seorang bodyguard, tapi siapa sangka? Zeara malah memperkerjakan seorang gelandang yang gadis itu temukan di jalanan, Zeara memperkerjakannya sebagai bodyguard pribadi untuknya! Dan i...