Dengan koper besar yang dia tarik, juga tas selempang yang berada di salah satu pundaknya. Tangannya yang satu sibuk menggenggam tangan seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun yang lebih tinggi darinya. Mengobrol ringan sambil mengenang setiap sudut dari kota kelahirannya ini. Di sinilah dia sekarang, kota Bandung, kota kelahirannya, kota di mana dia menempuh pendidikan, dan juga kota di mana dia bertemu dengan cinta pertamanya.
Namun, suara dari putra satu-satunya itu mengganggu lamunannya. "Sini Nda, aku bawain kopernya. Bunda udah bawa dari tadi, pasti capek." Setelahnya, ia mengambil alih koper yang tadinya berada di genggaman Winselle. Senyum Winselle mengembang, lalu menepuk pelan pundaknya anak laki-lakinya. "Terima kasih ya, ganteng." Yang dipuji pun menampilkan deretan giginya, lantas mengangguk dan merangkul Winselle—bundanya.
"Ibu! Winselle pulang!" teriaknya dari luar pagar. Dari dalam rumah terlihat seorang wanita paruh baya yang ia sebut dengan 'Ibu' berlari kecil menghampirinya. Sontak ia memeluk dengan erat ibunya, menyalurkan rindu yang sudah terpendam selama beberapa tahun. Ia merasakan kembali, menjadi seorang anak di saat dirinya sendiri mempunyai anak. Benar kata orang-orang bahwa seorang ibu juga membutuhkan ibu dalam hidupnya. Hangatnya pelukan dan lembutnya usapan pada rambutnya, itu adalah yang ia rindukan. Setelah puas, ia kemudian melepaskan pelukannya, lalu menoleh pada seseorang di sampingnya. "Kai, ayo peluk dulu neneknya," ucap Winselle lembut pada sang buah hati.
Dengan cepat—Kai Dierja Khanatta—menghambur dalam pelukan neneknya. Lalu melepaskannya dan menampilkan senyumnya yang paling hangat. Setelahnya, tiga manusia itu masuk dan melepaskan lelahnya.
~
Selepas membereskan barang-barangnya, juga beristirahat sejenak, Winselle pergi ke rumah kayu tua yang tidak terlalu besar di belakang rumahnya—rumah ibunya. Bangunan itu tidak terlihat rapuh sedikitpun, padahal bangunan itu sudah ada sejak usianya baru 8 bulan. Bangunan itu adalah basecamp pribadi miliknya, hanya orang-orang dengan izinnya yang bisa masuk ke sana. Perlahan, Winselle menggerakkan knop pintu, yang berhasil mengeluarkan suara decitan kala pintu di dorong kearah dalam. "Permisi~" ucapnya lirih, kemudian masuk.
Tidak ada yang berubah, hanya saja lebih berdebu karena tidak ada yang membereskan. Bahkan kuncinya pun ia bawa. Ia berjalan perlahan sambil melihat-lihat foto-foto yang ada di meja, berusaha mengingat kapan dan pada momen apa foto itu diambil. Perhatiannya kini terfokuskan pada satu foto di mana ia memakai seragam dengan almamater berwarna biru tua, juga dengan rompi setelah kemeja putihnya. Itu adalah seragam masa SMA nya dahulu. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang lebih tinggi darinya, tersenyum hangat kearah kamera. Winselle tersenyum kala mengingat seseorang itu.
Winselle kemudian mengeluarkan sesuatu yang selalu dia bawa, entah ditaruh di saku atau tasnya, tapi yang pasti dia selalu membawa benda itu. Tidak ada yang spesial kelihatannya, hanya gantungan berbentuk gitar yang dibelakangnya ada ukiran nama 'Khana' yang merupakan nama awalnya. Tapi yang memberinya lah yang membuat Winselle begitu menjaga benda sederhana ini, apalagi jika mengingat bagaimana kata-kata di balik kertas yang ditulis seseorang itu kala tangannya terulur untuk memberikannya pada Winselle.
"Ini sesuatu sederhana yang antik, untuk orang luar biasa yang lebih dari kata cantik, dan dari seseorang dengan gelora hati yang unik."
Kata-katanya selalu terngiang di kepala Winselle. Winselle tersenyum mengingatnya, lalu mengembalikan gantungan itu ke dalam sakunya. Ia kemudian menjelajah laci di bawah meja itu dan menemukan buku berukuran sedang dengan cover berwarna putih yang telah usang termakan waktu. Buku dengan tulisan 'Winselle's Diary' yang sudah pasti berisi tentang apa-apa saja yang telah dilaluinya. Ia kemudian duduk di bangku dan mulai membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.