Winselle dan Kai jalan beriringan menuju kelas masing-masing setelah selesai beribadah pagi. Keduanya dihinggapi perasaan bahagia karena ini adalah hari terakhir menjalani ujian yang sudah dilaksanakan seminggu lebih, yang juga membuat keduanya belajar bersama setiap pulang sekolah. "Khana, nanti mau ngga ke toko es krim baru di jalan Braga sepulang sekolah?" tanya Kai saat langkah kaki keduanya sudah berada di pertigaan koridor yang memisahkan antara kelas untuk angkatan Kai dan angkatan Winselle.
Winselle memasang ekspresi layaknya sedang berpikir, dengan jari telunjuknya yang ia ketuk-ketuk di pelipisnya. "Karena ini hari terakhir ujian, jadi boleh deh," jawab Winselle yang langsung mendapatkan senyum lega dari bibir Kai.
"Kalau begitu, saya duluan, ya? Semangat untuk hari terakhir ini," kata Kai sambil mengepalkan tangannya di udara. Winselle membalas dengan senyuman dan juga kepalan tangan yang ikut mengudara.
Sebenarnya Winselle sudah menyiapkan sesuatu untuk diberikan pada Kai. Satu batang cokelat dengan bunga-bunga kecil yang ia buat dengan kertas warna kecil-kecil dan juga satu lembar kecil berisikan kata-kata semangat. Tapi ia rasa, ia akan memberikannya saat istirahat nanti. "Kak Kai," panggil Winselle saat Kai hendak berbalik untuk pergi ke kelasnya.
Kai lantas membalikkan tubuhnya seperti semula, menatap Winselle. "Kenapa, Khana?" tanyanya lembut dengan tatapan teduhnya. Winselle gelagapan, lagi-lagi jantungnya mencelos kala ditatap seperti itu. Ternyata ia masih belum terbiasa walaupun sudah terbilang sering ia ditatap seperti itu oleh Kai. "N-nanti istirahat ketemuan di kantin, ya? Hari ini aku ngga bawa bekal soalnya," jawab Winselle dengan sedikit terbata karena tenggorokannya yang tercekat oleh rasa gugup.
Kai tersenyum, praktis mengangguk mengiyakan. Keduanya kemudian melambaikan tangan untuk kemudian kembali ke kelas masing-masing dan menjalani ujian terakhir.
~
Winselle berjalan sendiri di ramainya suasana kantin di jam istirahat. Langkahnya terhenti kala ia menyadari bahwa ia harus melewati gerombolan siswa yang terkenal akan kenakalannya, dan fakta lainnya adalah, di sana juga ada Janu yang bergabung. Dengan hati yang setengah-setengah, ia berjalan melewatinya. Tatapan mata ia dapatkan, mungkin karena mereka jarang melihat Winselle ke kantin. Winselle jarang ke kantin karena ia selalu membawa bekal.
Gunjingan turut memenuhi telinga Winselle. "Kiw, neng geulis." Mendengar cemooh yang keluar dari mereka, Winselle semakin mempercepat langkahnya. Tapi kemudian, tubuhnya dihadang oleh salah satu dari mereka. Laki-laki itu lebih tinggi dari Winselle, ia menyilangkan kedua tangannya di dada. "Gabung dulu gih, sana," katanya sambil menatap bergantian antara Winselle dan juga teman-temannya.
Winselle sudah diam membeku karena rasa takut yang menyelimutinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi mereka. Winselle bahkan sampai berkeringat dan memejamkan matanya. Tapi kemudian sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya, membuatnya membuka kembali matanya. Tubuhnya ditarik ke belakang tubuh yang tidak lain adalah Kai. Kini, mereka berhadapan dengan Kai, bukan Winselle lagi.
"Ngapain kalian?" tanyanya dengan nada datar yang jujur saja mampu membuat bulu kuduk Winselle berdiri. Melihat bahwa Kai yang maju, Janu kemudian menarik temannya itu untuk kembali duduk dan menjauh dari Kai. Janu kemudian menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum kikuk. "Ngga ada apa-apa, Nika. Cuma bercanda aja tadi," elaknya yang tak mendapat respon dari Kai.
Melihat tingkah Janu ketika ada Kai, membuatnya mendapat ejekan dan tawaan renyah dari teman-temannya. "Alah sia Janu, gagayaan we aya si Nika mah," ejek salah satu temannya yang langsung disambung oleh tawa yang memenuhi isi kantin. Kai merasa jijik melihat tongkrongan Janu yang seperti tidak punya adab untuk menghargai perempuan. Ia tahu betul apa yang mereka lakukan terhadap Winselle.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.