Winselle sudah selesai dengan surat-surat yang sempat membelit pikirannya. Tak langsung keluar, ia memilih untuk berjalan-jalan, mengelilingi sekolah dengan seribu satu kenangan itu. Benar, Winselle menyekolahkan anaknya di SMA nya dahulu. Sekolah ini sudah banyak berubah, menjadi lebih bagus yang pasti. Senyumnya mengembang, begitu pula dengan batinnya yang ikut mengembang karena teringat betapa indahnya masa sekolah dengan balutan asmara remaja yang khas dengan euforia bermekaran. Lagi dan lagi, otaknya secara otomatis memutar wajah yang pernah mengisi hatinya itu. Karena ingatan itu, Winselle sesekali terkekeh sendiri bagai orang gila di koridor sekolah yang sudah sepi.
Juga, hal yang membuatnya cukup bahagia hari ini adalah berita tentang guru bejat yang sangat ia benci. Ia sempat mengobrol dengan kepala sekolah saat mengurus berkas tadi. Katanya, Pak Dion—guru bejat itu sudah dikeluarkan sejak tiga tahun lalu karena ada siswi yang melaporkan tindakan mesumnya pada kepolisian. Dengan cepat, berita itupun menyebar, membuat media di luar sekolah sampai tahu dan dijadikan sebagai berita di koran lokal. Kepala sekolah saat itupun langsung melaporkannya ke dinas pendidikan untuk mendapat konsekuensi, dan konsekuensinya adalah dikeluarkan. Setelah beberapa bulan pemecatan itu, dikabarkan bahwa Pak Dion meninggal dunia karena stress dengan lingkungan yang mengecam tindakannya. Winselle lega, manusia sepertinya tidak pantas untuk menginjakkan kakinya di muka bumi yang indah ini.
Setelah puas mengelilingi lingkungan sekolah yang sudah berubah banyak, Winselle keluar dari area sekolah. Entah mengapa, langkahnya membawanya untuk pergi ke taman seberang sekolah. Ia sudah duduk di salah satu bangku, dekat air mancur, spot favorit dahulu jika bersama Kai. Tak ada yang dilakukannya di sini. Ia hanya menatap sekitar dengan lagu yang terputar dari handphonenya. Namun lagu selanjutnya berhasil membuatnya larut dalam suasana sambil menatap kosong kearah air mancur. Lagu itu, ia menyimpan seseorang di lagu itu.
First love milik Nikka Costa, Winselle menyimpan apik sosok Kai di lagu itu.
~
Sepeda yang dikayuh nya berjalan menuju taman dengan sejuta kenangan yang terkadang membuat dadanya bergemuruh sesak, dicekik oleh rasa rindu yang terpendam belasan tahun lamanya. Senyumnya sumringah kala ia memarkirkan sepeda tua miliknya itu. Langkah membawanya masuk lebih dalam sampai netranya bisa melihat air mancur dengan bangku-bangku di sekelilingnya, tempat favoritnya untuk belajar kepenulisan bersama seseorang yang juga menjadi favoritnya.
Pandangannya menguar, menjelajahi seluruh isi taman yang syukurnya tak berubah banyak. Perasaannya campur aduk, tidak bisa didefinisikan bagaimana rasanya. Ia jelas merasa nostalgia yang kuat, dengan diiringi rasa rindu yang kian memuncak. Masih dengan gelora hati yang sama, ia berjalan menuju bangku yang dahulu selalu menjadi tempatnya untuk duduk dan menatap lekat-lekat perempuan dengan netra teduh yang membuat hatinya menghangat. Winselle... benar-benar menjadi pemenang di hati Kai, tidak ada yang bisa menggantikannya.
Saat semakin dekat, matanya mampu menangkap seorang perempuan dengan rambut sebahu sedang menyandarkan tubuhnya dengan headset di kupingnya dan juga mata yang memejam. Perempuan itu sedang duduk di spot favoritnya, membuatnya mengurungkan niat untuk duduk di sana. Tapi entah mengapa, kakinya malah membawanya untuk semakin mendekat karena merasa ada sesuatu yang cukup menarik, tapi Kai tidak tahu apa itu.
Namun kemudian ia tersadar, jantungnya berdegup lebih kencang, matanya menatap tak percaya. Tuhan mempertemukannya, setelah sekian lama dipisahkan karena keadaan yang memaksa. Ia berdiri sambil menatapnya, dengan genangan air mata di pelupuk matanya yang sewaktu-waktu bisa saja runtuh. Waktunya seakan berhenti begitu saja, memberikannya kesempatan untuk menatap lebih lama perempuan yang sedang memejamkan matanya itu. "Khana...?"
Mungkin merasa terusik, perempuan itu lantas membuka matanya perlahan, masih berusaha menerima cahaya yang masuk menembus kornea matanya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, masih berusaha menyesuaikan. Setelah dirasa cukup, ia menatap Kai yang masih menatapnya tidak percaya. Tertegun, perempuan itu membeku layaknya sebuah patung di museum. Ia juga menatapnya tidak percaya. Otaknya masih berusaha untuk mencerna apa yang ada di hadapannya ini. "Kak... Kai...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.