"Ini mau ke mana?" tanya Janu sedikit berteriak agar suaranya tak kalah dari ramainya lalu-lalang. Begitupun dengan Winselle, ia sedikit memajukan kepalanya agar bisa mendengar suara Janu yang bertarung dengan angin. "Hah? Terserah aja," jawabnya lalu kembali ke posisi semula. Ia hanya melihat jalan-jalan dan isi kota Bandung karena akhirnya Janu memutuskan untuk berjalan-jalan tanpa tujuan. Ah, otaknya benar-benar tidak bisa lepas dari perempuan yang sudah beberapa jam berangkat ke Jerman itu. Berat, Tuhan benar-benar menamparnya sekarang.
"Nika sudah ke Jerman, ya? Kamu ikut nganter tadi memangnya?" tanya Janu memecah keheningan di lampu merah. "Iya, kenapa kamu ngga ikut anterin yang katanya pujaan hatimu itu?" jawab Winselle. Di depan sana, Janu justru tertawa kecil. "Aku lagi berusaha untuk lupain Nika, walaupun berat sih. Tapi kan sekarang posisiku sudah calon tunangan mu, harus bisa menghargai dong."
Winselle hanya mengangguk-angguk, membenarkan pernyataannya. Tapi jelas tidak semudah itu untuk melupakan, apalagi Janu sudah mencintai Nika secara terang-terangan, walaupun selalu dengan akhir yang sama. Hal ini membuat Winselle berpikir, untuk apa Janu repot-repot menerima perjodohan tidak jelas seperti ini? Padahal, ia bisa saja menolak dan mencari pasangannya sendiri. "Terus kenapa kamu nerima perjodohan ini?" ujar Winselle mengutarakan isi pikirannya.
Tak langsung menjawab, Janu malah menancapkan gasnya karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Tapi kemudian, suaranya kembali memenuhi gendang telinga Winselle. "Jujur, ini juga supaya aku bisa lupain Nika. Maaf ya, Win, aku jadiin kamu tempat untuk melupakan seseorang." Winselle tidak marah, ia justru juga setuju karena ia juga akan melakukan hal yang sama untuk melupakan orang yang sama juga. "Ngga apa-apa, Kak. Aku juga sama, kok!"
Jujur saja, Janu sedikit terkejut dengan jawaban Winselle. Ia tidak tahu bahwa teman pujaan hatinya itu juga melakukan hal yang sama untuk melupakan seseorang yang mungkin begitu berarti di hidupnya. Ia menertawai dirinya sendiri akan pikirannya yang konyol. "Aku kira kamu suka sama Nika, Win," katanya kemudian tertawa, memenuhi udara. "Lagian dekat banget, mana Nika-nya juga begitu lagi. Pertemanan perempuan ternyata sangat beda, ya, sama pertemanan laki-laki?" lanjutnya kemudian kembali tertawa.
Memang suka, kok.
Winselle tak menjawab, biarkan ia menjawab dalam hati karena ia tidak ingin berbohong. Tapi Janu menyadari bahwa Winselle terdiam mendengar pernyataan aneh yang terlontar dari mulutnya. "Maaf, Win, aku bercanda aja. Maaf kalau kamu tersinggung, itu cuma pemikiran aneh ku aja kok, ngga aku seriusin," ujarnya tiba-tiba dengan nada panik yang sangat terlihat. Winselle mengangguk lalu tersenyum kaku untuk menutupi rasa getir di hatinya yang rasanya sudah sangat hampa dan pahit.
"Aku harap, rasa terus tercipta di antara kita, ya? Timbal balik, ngga cuma satu pihak yang merasa," katanya. Matanya melirik Winselle dari spion motornya. Winselle mengangguk, walau sedikit ragu. "Semoga."
~
Winselle kembali menutup buku hariannya saat mencapai lembar terakhir. Perasaannya campur aduk, ada rasa bahagia, sedih, bingung, dan perasaan lainnya yang tidak bisa ia deskripsikan. Ia juga tidak menyangka bahwa ia bisa berada di titik ini, titik di mana ia menemukan kebahagiaannya setelah sebelumnya semesta menyiksanya sebegitu peliknya sampai-sampai membuatnya berpikir bahwa bahagia itu tidak ada. Tapi ia salah, Tuhan pasti tidak menciptakan manusia hanya untuk merasa sakit.
Pikirannya juga teringat lagi pada Kai. Perempuan itu sudah menghilang selama belasan tahun tanpa kabar sedikitpun. Begitu pula dengan keluarganya yang pindah ke Yogyakarta dengan alasan yang tidak jelas. Beruntung kala itu ia dipertemukan oleh Janu, suaminya—mantan suaminya yang berhasil membuatnya melupakan rasa yang penuh dosa itu selama satu tahun pendekatan. Tapi tidak bohong, ia cukup rindu dengan Kai, bukan sebagai seseorang yang memiliki cinta lagi, tapi sebagai seseorang yang harus berterima kasih karena rasa yang dimilikinya dahulu, mampu membuatnya berada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.