III

44 4 0
                                    

Winselle masih sibuk bergelut dengan tugas yang harus dikumpulkannya besok. Tugas ini terlalu sulit, sedangkan ia tidak punya seseorang untuk mengajarinya. Dengan mata yang semakin berat, Winselle berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.

Ia kemudian melirik kearah jam dinding yang ada di kamarnya dan melihat ternyata sudah tengah malam sekarang. Beruntung tugasnya sudah selesai, walaupun ia tidak tahu itu benar atau tidak. Winselle kemudian merebahkan tubuhnya di kasur, meregangkan otot-ototnya. Ia menatap langit-langit kamarnya, pikirannya berkelana ke mana-mana. Teringat ada sesuatu yang belum ia lakukan, Winselle pun kembali ke meja belajarnya.

Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan buku yang selalu ia bawa ke manapun. Winselle mulai menuliskan apa yang ada di pikirannya.

Hari ini, sangat menyenangkan bagiku. Kak Kai mengajakku untuk berkenalan, walaupun tujuannya hanya agar aku membantunya menyelesaikan tugas musikalisasi puisi yang membuatnya hampir gila karena ia sendiri tidak bisa puisi.

Banyak hal lagi yang ia tulis, entah tentang Kai yang membelikannya es saat pulang sekolah, ataupun Kai yang mengajaknya untuk bertemu besok di taman belakang sekolah. Hal-hal sederhana tentang Kai selalu Winselle tulis di buku itu. Buku yang membuat cerita ini ada.

~

"Ibu! Winselle berangkat!" teriaknya dari luar sambil memakai sepatunya dengan tergesa. Winselle telat bangun, membuatnya harus cepat-cepat berangkat untuk menghindari omelan ibunya yang akan sepanjang rel kereta di pagi hari ini.

Winselle berlari untuk mengejar waktu. Jangan tanya bagaimana penampilannya, berantakan. Napasnya memburu, membuatnya terbatuk sesekali. Sekarang ia tidak peduli lagi pada apapun, karena ia fokus pada tujuannya untuk sekolah.

"Khana!" teriakkan dari seseorang berhasil membuat berhenti sejenak. Winselle menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang tidak asing di matanya. "Kak Kai?" monolognya.

Terlihat Kai yang mengendarai sepeda ontel nya itu berusaha mengayuh dengan cepat untuk mengejar Winselle. Kai kemudian berhenti tepat di samping Winselle. Wajahnya dipenuhi oleh keringat, juga napasnya yang terengah-engah, persis dengan keadaan Winselle. Kai kemudian menunjuk boncengan sepeda yang ia gunakan dengan dagunya.

Bodohnya Winselle, ia malah membeku. Tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Ini semacam keberuntungan baginya.

"Khana, cepet naik! Kita telat!" kata Kai memecah lamunan Winselle. Winselle masih di tempatnya, menatap kearah sepeda yang digunakan Kai dengan raut wajah khawatir.

Kai yang seolah mengerti apa yang ada di pikiran Winselle, lantas menarik tangan Winselle dan mengangguk meyakinkan Winselle. Winselle lalu mendudukkan dirinya di boncengan sepeda Kai. Kai kemudian terlihat mengatur napasnya dan mulai memegang erat-erat setang sepedanya.

"Pegangan Na, saya ngebut." Dengan ragu-ragu, Winselle memegang almamater yang digunakan Kai. Lalu merasakan sepedanya sudah berjalan, lumayan kencang. Winselle bisa merasakan angin pagi menerpa wajahnya, membuat poni nya terangkat sesekali. Winselle tidak bisa menahan senyumnya, juga degup jantung yang terus berdetak lebih cepat. Ia bisa menatap dengan jelas punggung seseorang yang sudah beberapa tahun mengisi hatinya. Ini seperti sebuah keajaiban dalam kekalutan.

Mereka—Winselle dan juga Kai sudah berada di depan gerbang sekolah. Anehnya gerbang sekolah belum ditutup, membuat mereka meninggikan nyalinya untuk masuk. Memang benar hari sial tidak ada di kalender, mereka berdua lupa bahwa yang berjaga di gerbang untuk mendisiplinkan siswa-siswi hari ini adalah Bu Yani, guru yang selalu membawa rotan di tangannya itu sudah jangan ditanya bagaimana orangnya. Winselle dan juga Kai hanya menarik napasnya pasrah kala Bu Yani menghukum mereka untuk hormat pada tiang bendera di lapangan sampai jam istirahat.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang