XI

12 2 0
                                    

Pakaiannya sudah terganti. Kini Winselle memakai pakaian untuk tidur, yang tentunya nyaman. Ia kembali ke kamar setelah membuat susu cokelat hangat dan meletakkannya di meja belajarnya. Sebenarnya, ia ingin pergi ke basecamp nya, tetapi ini sudah malam dan jujur saja, ia takut.

Ia kemudian membuka buku hariannya dengan senyum indah yang mengambang. Winselle sudah seperti orang gila karena tersenyum-senyum sendiri sambil menyenderkan tubuhnya di kursi dan menatap langit-langit kamarnya. Ia seperti ini karena memikirkan kembali hal-hal indah seperti sore tadi. Kai, kamu berhasil membuat Winselle kehilangan akal sehatnya.

Dengan cepat, ia kembali menegakkan tubuhnya. Tangannya mengambil pulpen dan mulai menuliskan sesuatu di atas buku itu. Sesekali ia terkekeh karena mengingat kesehariannya yang kini diisi oleh kehadiran Kai yang mampu membuatnya merasa hangat.

Malam ini, malam yang sangat berkesan bagiku. Malam di mana aku dan Kak Kai menghabiskan waktu bersama di pusat kota sambil menikmati live band dan juga jajanan yang berjejer sepanjang jalan.

Banyak hal yang ia tulis pada malam itu. Malam yang berhasil membuatnya merasakan timbal-balik setelah bertahun-tahun ia menyimpan rasa. Inikah yang namanya indahnya frasa jatuh cinta? Bahkan rasanya lebih berbunga-bunga dari yang dikatakan oleh orang-orang.

Di sisi lain, Kai yang yang baru ganti baju, langsung disambut oleh Ginan, kakaknya. Ginan mengambil tempat di atas ranjang milik adiknya itu, merebahkan tubuhnya di sana. Sudah biasa kalau Ginan masuk tanpa izinnya. Kai mengabaikannya, memilih untuk terus mengusak rambutnya yang basah karena habis keramas.

"Kamu belakangan ini beda deh, Kai," ujar Ginan tiba-tiba. Benar, Kai adalah panggilan khusus dan spesial yang diberikan oleh kakaknya. Jadi secara tidak langsung, Winselle termasuk dalam barisan khusus yang diizinkan untuk memanggilnya seperti itu.

Sambil terus mengusak rambutnya, Kai duduk di meja rias miliknya. "Beda gimana?"

Ginan tampak berpikir sebelum akhirnya menyuarakan pikirannya. "Ya beda, kayak... are you falling in love?"

Pernyataan yang dilontarkan oleh kakak perempuannya itu sukses membuatnya menoleh dengan tautan alis dan mata yang menelisik. "Salah? Ngga kan?" tanyanya lagi.

Napas panjang memenuhi kamarnya. Kai kemudian duduk di tepi ranjangnya. Ginan juga kemudian ikut bangkit dan duduk di sampingnya adiknya itu dengan kedua kaki yang terlipat. "Coba jelasin gimana perasaan kamu." Setelah hening karena Kai tampak berpikir sejenak, ia akhirnya membuka suara.

"Rasanya kayak aku pengen terus di samping dia, jadi tempat dia untuk pulang setelah dia ngelewati harinya yang mungkin aja berat. Aku pengen kalau dia ngerasa aman dan nyaman kalau sama aku. Setiap aku sama dia, ada rasa sesak tapi membahagiakan di dadaku, aku ngga paham gimana jelasinnya. Terus, aku pengen ngelindungin dia sebagaimana sebuah sayap pelindung, aku ngga mau kalau sampai dia sedih atau murung. Aku pengen terus lihat senyumnya yang buat aku mikir Kok bisa, ya, dia indah banget? Aku ngerasa hangat kalau sama dia, aku pengen peluk dia terus-menerus dan bilang ke dia kalau dia hebat. Intinya aku bahagia kalau dia bahagia. Ya... kurang lebih begitu," jelasnya panjang lebar tanpa di lebih-lebihkan atau dikurangi sedikitpun. Kai benar-benar jujur akan perasaannya.

Ginan melebarkan matanya, menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Ia tidak percaya bahwa adiknya sudah cukup dewasa untuk merasakan frasa paling indah di hidupnya. Ginan sampai-sampai menutup mulutnya dengan telapak tangannya, berhasil mengundang tatapan heran dari Kai.

"Oh, wow! You're falling in love, Kai! Who's that man? Siapa laki-laki yang berhasil buat kamu ngerasa begitu?" tanya Ginan begitu heboh, mengundang Kai untuk menatapnya malas karena mendengar suara melengking nya yang memenuhi kamar yang tidak seberapa besar ini.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang