Sesuai dengan perjanjian yang dibicarakan kemarin, Winselle sudah bersiap menyeberang untuk ke taman sekarang. Ia menoleh ke kanan-kiri, menunggu jalanan sedikit senggang untuknya bisa menyebrang. Namun cekalan dari tangan seseorang menghentikan langkahnya untuk menyebrang.
"Bareng saya aja, Na. Kan saya yang minta bantuan kamu." Setelahnya, Kai tersenyum melihat raut wajah kaget dari Winselle. Tidak bohong, Winselle sampai membulatkan matanya karena terkejut.
Akhirnya kedua puan itu berboncengan menggunakan sepeda Kai. Lebih tepatnya, Winselle yang dibonceng oleh Kai, persis seperti tadi pagi ketika mereka telat. Tetapi sekarang, Kai mengayuhkan sepedanya cukup tenang walaupun dengan terik matahari di siang hari yang cukup menyengat. Dengan angin yang cukup berhembus, itu mampu untuk menutupi keringat yang hampir keluar akibat panas matahari.
Kini kedua puan itu sudah duduk berhadapan di salah satu bangku taman, dekat air mancur. Kai juga sudah mempersiapkan gitarnya, ia pinjam gitar milik sekolah. Sedangkan Winselle sibuk membaca buku-buku yang ia bawa dari perpustakaan dengan serius.
"Mau puisi yang bagaimana, Kak?" tanya Winselle di sela-sela ia mencari referensi. Kai yang masih sibuk mencari melodi, langsung menatap Winselle. "Kalau puisi tentang cinta, gimana?" tanya balik Kai.
Winselle terkejut, tapi masih bisa menyembunyikannya. "Puisi cinta yang kayak apa?"
Kai kemudian terlihat berpikir. Ia mengetuk-ngetuk body gitarnya dengan jari-jarinya yang lentik. "Kisah tentang seseorang yang sudah lama memendam rasa pada pujaan hatinya, tapi tidak berani mengungkapkannya karena suatu alasan."
Hati Winselle rasanya seperti di bom saja. Ia kemudian menutup bukunya dan berusaha menatap netra indah milik perempuan di depannya itu. Winselle kemudian tersenyum getir, "Kisah nyata ya, Kak?"
Yang di depannya justru terkekeh. Entah, tapi dia merasa lucu dengan pertanyaan yang dilemparkan untuknya. Kai mengangguk sebagai jawabannya. "Pasti. Tapi itu bukan kisah saya, mungkin kisah orang lain."
Lega rasanya. Paling tidak, Winselle merasa senang bahwa Kai tidak merasakan hal yang sama sepertinya. Akan menyakitkan jika seandainya Kai mengalami hal yang sama seperti Winselle. Sekadar membayangkan pun, Winselle tidak mau.
Winselle mulai sibuk menulis apa yang ada di pikirannya. Menuangkan semua imajinasinya dalam bentuk bait-bait indah, mendeklarasikan cinta dalam bentuk prosa, dan mencurahkan semua euforia dalam bentuk untaian aksara. Secara tidak langsung, ia menuliskan secercah kisah cintanya dalam puisi yang ditulisnya.
Sedangkan yang menjadi inspirasi, malah menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya. Netranya sibuk menelisik dalam-dalam setiap pahatan indah di wajah Winselle. Menurutnya, ukiran Tuhan di wajah Winselle adalah sempurna, tanpa celah dan goresan. Ke mana saja ia baru menyadari bahwa ia memiliki adik kelas dengan paras se-ayu bidadari.
Tiga puluh menit berlalu, Winselle tersenyum bangga bisa menyelesaikan puisi yang dibuatnya. Tangannya memberikan kertas yang sudah terukir aksara indah di atasnya. "Nih Kak, coba baca dulu," ujarnya dengan nada semangat. Matanya berbinar menatap Kai yang sibuk membaca, seraya menunggu jawabannya.
Sedangkan Kai sendiri, tidak henti-hentinya memuji dalam hati setiap bait yang tertulis. Walaupun bertema sedih, tapi tidak menutupi gejolak asmara yang dapat dirasakan langsung olehnya lewat puisi tersebut. Winselle sangat pandai membuatnya jatuh dan terlena dalam tulisan apik yang dibuatnya.
Manik legam milik Kai kemudian menatap netra indah milik perempuan di seberangnya itu. Memancarkan kebahagiaan secara tersirat, membuat keduanya menerbitkan senyum manisnya.
"Bagus banget, Na. Bait-bait yang kamu tulis berhasil membuat saya jatuh ke dalamnya. Merasakan bagaimana indahnya cinta dan juga peliknya perpisahan. Di lain waktu, ajari saya menulis, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.