XIV

14 2 0
                                    

Mobil Janu sudah memasuki halaman rumah dan Kai turun dengan tatapan kosong yang mengarah ke segerombolan warga setempat yang mengerumuni seseorang yang sudah terbaring kaku di peti mati. Langkahnya membawanya dengan gontai menghampiri kearah ruang tamu yang penuh dengan isak tangis.

Tapi langkahnya terhenti kala netranya dengan jelas menangkap sosok yang sedang meraung-raung menangisi kepergian pendamping hidupnya, Mamanya. Ia tidak sekuat itu untuk melihat seseorang yang sudah melahirkannya menangis sebegitu hebatnya di pelukan kakaknya. Kakinya membawanya secara otomatis untuk mundur hingga ia tak sadar bahwa seseorang berada tepat di belakang tubuhnya.

Kai menoleh ke belakang dan mendapati seorang perempuan dengan rambut pendek dan poninya yang tubuhnya lebih kecil menatap kearahnya dengan sendu. Winselle tersenyum tipis sambil mengangguk, meyakinkan Kai bahwa ia harus maju dan menghadapi kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya. Akhirnya, ia dengan Winselle yang mengekor di belakangnya memasuki ruang tamu yang langsung disambut dengan tatapan iba penuh air mata dari orang-orang yang ada di sana.

Kakaknya yang menyadari kehadiran Kai, lantas bangkit dan merengkuh tubuh yang lebih tinggi darinya. Tidak bohong, tapi hati Kai benar-benar sakit melihat kakaknya yang biasanya selalu dan berusaha untuk terlihat kuat, tapi kini ia rapuh dan hancur di pelukannya. "Ayah Nika...," racau nya di pelukan Kai yang hanya bisa diam mematung.

Tak lama, Ginan melepaskan pelukannya dan menarik Kai untuk duduk di samping Mamanya yang sudah terlihat benar-benar kacau. Kepalanya dengan perlahan melihat kearah seseorang yang sudah membiru dan kaku dengan pakaian formal dan rapih di dalam peti mati. Ia menatap lekat-lekat wajah yang telah memberikannya kehidupan itu. Memori dan kenangan indah bersamanya secara otomatis terputar di otak Kai, membuatnya tidak mampu untuk menatap terlalu lama. Ia membuang mukanya dan lanjut memeluk Mamanya.

~

Winselle datang menghampiri Kai yang sedang duduk di halaman belakang rumahnya. Ia melihat bahwa Kai sedang menatap langit malam yang mungkin terasa kelabu baginya. Sebelum itu, Winselle sempat kembali ke rumah untuk berganti pakaian yang lebih formal karena untuk mengikuti upacara pemakaman ayah Kai satu jam yang lalu. Ia sudah diberi izin untuk menemani Kai yang sedang berkabung.

"Permisi, boleh gabung?" tanya Winselle pelan agar Kai tidak terkejut dengan kehadirannya. Kai menatapnya dan kemudian mengangguk sambil menepuk bangku panjang yang masih tersisa. Winselle menurut, ia duduk di samping Kai. Tidak ada percakapan, keduanya hanya terhanyut dalam suasana dingin malam ini.

"Ini ayah saya beneran udah pergi, ya?" celetuk Kai, masih dengan memandangi bintang-bintang malam yang bertaburan. "Ayah saya beneran udah jadi salah satu bintang di langit?" tanyanya lagi yang hanya dibalas hening yang memeluk erat keduanya. "Padahal beliau ngga perlu jauh-jauh jadi bintang di langit, soalnya beliau udah jadi bintang di hati saya dan keluarga."

Kali ini, Winselle menoleh kearah Kai. Ia tatap dengan lekat wajah seseorang yang sedang berusaha untuk kuat, walaupun mungkin tidak sekuat itu. Ia juga baru menyadari bahwa dari awal Kai mendengar berita itu, ia tidak menangis sama sekali. Hanya saja, ia menatap kosong ke segala sesuatu yang bisa ia tatap. Justru ialah yang paling sering memberikan bahu untuk orang-orang terdekatnya yang merasa hancur, walaupun ia pun sama hancurnya, atau bahkan lebih besar dari mereka semua tanpa mereka ketahui.  Hal itu membuat Winselle berpikir jika Kai bisa dengan lapang memberikan bahunya kepada orang lain untuk bersandar, lantas dengan siapa Kai sendiri bersandar?

"Kakak kalau mau nangis, nangis aja. Aku ngga bakal ledekin, kok," kata Winselle membuka keheningan yang sempat menyelimuti. Kai lantas menoleh, tidak berkata apa-apa. Tapi tindakan yang dilakukan oleh Winselle selanjutnya mampu membuat tubuhnya menjadi kaku.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang