XIX

14 1 0
                                    

Suasana hening, sepi, dan gelap menjadi kombinasi utama di kamar Winselle. Kini ia hanya menatap langit-langit kamarnya, merenung tentang perjodohan yang sempat membuat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Pikirannya menimang betul-betul keputusannya tentang perjodohan itu. Walaupun sudah bulat, tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya enggan untuk menerima perjodohan itu. Tapi ia lakukan semata-mata untuk membalas jasa ibunya, walau sangat kecil.

Hati dan pikirannya juga tidak lepas dari sosok yang sudah mengisi hari-harinya yang semula kosong menjadi sangat berwarna walau sementara. Kai, perempuan itu akan berangkat, Minggu depan, itu yang Winselle tahu karena terakhir ia bertemu dengan Kai yaitu pada saat perpisahan Kai, setelahnya mereka tidak bertemu sama sekali. Rindu rasanya sangat mencekik Winselle, ya walaupun ia bukan siapa-siapa, tapi rindu tidak harus terikat suatu hubungan, kan? Winselle berharap ia bisa bertemu lebih banyak dengan Kai sebelum keberangkatannya, tapi perempuan itu juga berpikir bahwa Kai akan sangat sibuk mempersiapkan ini dan itu, jadi ia takkan mengganggu Kai.

Tapi suara pintu terbanting memecahkan lamunannya. Dengan segera, ia keluar dari kamarnya dan benar saja, sudah ada ayahnya dengan tangan terkepal dan rahang yang mengeras. "Mana Ibu kamu?!" tanyanya dengan nada tinggi yang membuat jantung Winselle tersentak. Dengan gemetar, Winselle menahan ayahnya yang hendak menerabas masuk ke kamar ibunya. "Pak, udah ya Pak. Winselle mau kok Pak dijodohin, tapi Bapak beneran harus ceraikan Ibu, ya?"

Tangan yang semula terkepal, perlahan mengendur beriringan dengan wajah yang semakin melembut. Senyum yang tidak bisa Winselle artikan, terpatri elok di wajah yang biasanya selalu dingin itu. Begitu pula dengan tatapan mata yang biasanya menatapnya dengan tajam, kini hilang entah ke mana. Winselle senang, sudah lama sekali rasanya ia tidak bisa melihat ayahnya yang menatapnya begitu hangat seperti itu. Ia tidak bohong, ia rindu sekali. Jika seperti ini, bisa saja pertahanannya runtuh seketika.

Tangan kasar yang semula memegang sebatang nikotin itu, kemudian mengusap lembut puncak kepalanya. "Harusnya gitu dari kemarin, jadi Bapak ngga perlu marah-marah lagi," katanya kemudian terkekeh. Winselle justru diam membisu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Sesayang itu, ya, kamu sama ibu?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut ayahnya itu hanya dibalas diam tanpa sepatah katapun. Winselle tidak tahu harus menjawab seperti apa, takut-takut ada salah kata dan malah membuat ayahnya tersinggung. Merasa tak mendapat jawaban dan tak ada urusan apa-apa lagi, ayahnya beranjak untuk pergi dari sini, kembali ke dunia bebasnya yang membuat Winselle dan ibunya tersiksa.

"Bapak," panggil Winselle kala ayahnya sudah mencapai pintu utama. Ayahnya hanya menoleh, lalu mengangkat dagunya sebagai tanda tanya. "Bapak beneran harus ceraikan ibu setelah perjodohan itu, ya?" pinta Winselle dengan pelan, nyaris berbisik.

"Baru Bapak ceraikan kalau kamu sudah menikah dengan orang pilihan Bapak," jawabnya dengan tegas, membuat Winselle menghembuskan napasnya pasrah. Harus sampai menikah? Padahal ia berniat untuk menyudahi perjodohan itu saat ayahnya sudah menceraikan ibunya, tapi ternyata rencana ayahnya jauh dari bayang-bayangnya.

"Ngerti?" Winselle hanya mengangguk lemah, tidak bisa menolak lagi karena ini adalah keputusannya sejak awal. Tapi kemudian, secercah keberanian datang dan hadir memeluk Winselle. "Bapak," panggil Winselle. Ayahnya yang sudah berjalan di luar ruang tamu pun menoleh dengan enggan, tatapan tajam kembali ia dapatkan. "Apa lagi?" Jujur saja, nyalinya kembali ciut jika sudah seperti ini.

Dengan suara bergetar itu, Winselle berusaha untuk tetap tegas pada pertanyaannya. Semoga, semoga saja diperbolehkan. "Winselle... boleh minta peluk?" Setelah itu, ia menunduk dalam-dalam, enggan untuk menatap kembali netra ayahnya. Jarinya saling bertautan, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Tapi apa yang dikatakan oleh ayahnya selanjutnya, membuatnya mengangkat kepalanya perlahan dengan mata yang berkaca-kaca.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang