XII

14 2 0
                                    

Siang ini, sepulang sekolah, keduanya—Winselle dan juga Kai sudah berada di perpustakaan kota. Dengan pemandangan yang mengarah langsung kearah kota, keduanya sibuk berkutat dengan buku-buku yang sebelumnya sudah mereka cari di rak-rak buku.

"Gimana? Sudah hapal?" tanya Kai tiba-tiba sambil menatap lekat kearah gadis berponi di sampingnya yang sudah mengisi hari-harinya. Winselle kemudian menutup buku dan tidak lupa ia taruh tangannya di halaman yang sebelumnya sudah dibaca, agar tidak perlu repot lagi untuk mencarinya. Winselle mendongak dan mendapati tatapan yang berhasil membuat wajahnya bersemu merah. Ia kemudian mengalihkan pandanganya, matanya sibuk berkelana ke manapun agar tak bertatap langsung dengan perempuan di depannya.

Masih sama rasanya.

"Semoga aja deh, Kak," jawabnya sambil menatap kearah pemandangan di depannya yang terhalang jendela. Oh ya, mereka berada di lantai dua perpustakaan sehingga bisa melihat dengan jelas bangunan dan juga pohon-pohon yang menghiasi kota Bandung.

Kai terkekeh melihat raut wajah pasrah yang terukir jelas pada paras mungil Winselle, membuat si pemilik paras menoleh dengan tanda tanya. Melihat Kai yang terkekeh, Winselle kembali tenggelam dalam pikirannya. Memikirkan bagaimana bisa ada manusia dengan tawa sederhana namun memikat seperti Kai? Ah, lagi dan lagi, Winselle jatuh terlalu jauh pada rasa yang seharusnya jauh.

"Coba kamu jelasin ke saya, seperti presentasi gitu. Saya pernah dengar kalau metode seperti itu juga melatih dan memperkuat ingatan kita," kata Kai setelah reda dari tawanya. Winselle seakan ditarik kembali ke dunia nyata setelah Kai membuka suaranya. Winselle terdiam sejenak, berpikir apakah ia harus mencobanya atau malah sebaliknya?

"Kenapa diem? Ayo, semangat Khana." Winselle menarik napasnya dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak untuk membuat otaknya kuat akan materi-materi yang sudah ia baca.

"Jadi, limit fungsi adalah nilai fungsi yang bergerak menuju batasan nilai tertentu yang paling mendekati namun tidak mencapai batasan nilai tersebut," jelas Winselle sambil sesekali menggerakkan tangannya dan mengedarkan pandangannya kearah langit-langit perpustakaan untuk membuatnya tetap ingat pada materi.

Kai menyimak dengan fokus, menatap lekat pada manik indah milik Winselle. Ia kemudian memangku dagunya pada tangan yang ia letakkan di meja tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun pada perempuan di sampingnya itu. Sesekali Kai mengangguk atas penjelasan yang dijabarkan oleh Winselle.

"Nah, artinya untuk setiap nilai x mendekati b, namun x tid—ah...." Winselle menghentikan penjelasannya, membuat Kai mengangkat alisnya. "Kenapa berhenti?" tanya Kai, ia benar-benar tidak mengubah posisinya.

Tidak tahu saja kalau Winselle berhenti karena ditatap sebegitu dalamnya oleh sang pengisi hati. Hatinya tidak sekuat itu untuk menerima tatapan mata yang teduh dari Kai, Winselle lemah sekali. Apalagi melihat posisi Kai yang memusatkan seluruh perhatiannya padanya, membuat Winselle ingin melebur ke mana saja sekarang.

"Saya suka lihat kamu bicara dan menjelaskan pikiran kamu. Sering-sering bicara sama saya, ya, Na?" Kai memberikan senyumnya yang paling indah yang pernah Winselle lihat. Setelahnya, Kai kemudian kembali menegakkan badannya. "Intinya, saya suka apapun yang kamu bicarakan, sekalipun itu sesuatu yang ngga penting, tapi itu bisa jadi penting buat saya kalau kamu yang bicara."

Jika saja Winselle hidup di dalam dunia kartun, pasti tubuhnya sudah meleleh layaknya lilin. Sudah dapat dipastikan bahwa wajahnya akan memerah seperti tomat matang yang dijual di pasar. Winselle menundukkan kepalanya sembari mati-matian menahan senyumnya, berharap si pembuat senyum tidak melihatnya walaupun mustahil sekali karena tingkahnya yang gugup sekaligus senang sangat terlihat.

Kai juga begitu sebenarnya, tapi ia sangat pandai menutupinya. Senyumnya bahkan tidak hilang sedikitpun dari parasnya yang menawan. Tetapi melihat Winselle yang menundukkan kepalanya, ia lantas merendahkan tubuhnya agar bisa berkontak mata lagi dengan Winselle. "Kamu belum jawab saya, Khana...," lirihnya kemudian kembali menegakkan tubuhnya dan membuka buku-buku lain yang belum dibukanya.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang