Tepukan meriah bergemuruh kala Kai naik ke atas panggung yang sudah disediakan. Jari-jarinya dengan lihai memetik senar gitar dengan begitu indahnya, menciptakan melodi yang menyatu erat dengan merdunya suara yang mampu membuat hati menghangat. Entah apa yang membuatnya begitu menghayati lagu yang dinyanyikannya, First Love milik Nikka Costa.
"Katanya dia nyanyi itu buat orang yang dia suka," kata Ginan sambil beberapa kali memotret adiknya itu. Winselle dan Mama Kai yang semula fokus memerhatikan Kai di atas panggung, reflek menoleh kearah Ginan kala mendengar apa yang dilontarkannya. "Wah! Adekmu falling in love? Sama siapa, Nan? Kok Mama ngga tau?" tanya Mamanya bertubi-tubi. Sedangkan Winselle hanya menyimak dengan pikiran yang membuatnya pusing sendiri. Kai sedang jatuh cinta? Siapa seseorang yang mampu membuat Kai jatuh cinta sampai membuatnya menyanyikan lagu di atas panggung seperti ini?
Winselle terlalu berharap. Ia salah karena menaruh harap dan juga rasa bahagia kepada Kai yang menyanyikan lagu favoritnya. Jadi Kai bernyanyi bukan untuknya, tapi untuk seseorang yang berhasil masuk ke dalam hatinya. Sekarang Winselle merasa seperti terbalut rasa sakit dengan apik, layaknya sebuah selimut yang membungkus tubuhnya kala merasa dingin. Alih-alih memeluknya untuk menghangatkannya, selimut yang kali ini memeluknya untuk memberikan luka yang tidak bisa ia tolak sebab dari awal ia sendiri yang meminta selimut itu.
Ginan mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Dia ngga mau ngasih tau," balas Ginan kemudian menaruh kembali kamera milik adiknya. "Mungkin Khana tau tuh," lanjutnya. Sontak atensi didapat oleh Winselle. Tatap mata itu seakan meminta penjelasan atas rasa seseorang yang bahkan terasa abu-abu baginya. "Aku juga ngga tau. Kak Kai bahkan ngga pernah cerita kalau dia lagi jatuh cinta."
Semua hanya mengangguk sebagai tanggapan dari jawaban yang diberikan oleh Winselle. Perempuan itu kemudian kembali melihat ke atas panggung, melihat Kai yang pasti. Layaknya diizinkan oleh semesta, netra keduanya tidak sengaja bertemu, membuat Kai mengembangkan senyumnya. Winselle yang melihat itupun membalas senyuman manis itu dengan mata berbinar yang sebenarnya mampu membuat Kai jatuh tersungkur ke dalam sana. Tapi, itulah hebatnya Kai, menyimpan segalanya dalam hening, sepi, dan kesendiriannya.
~
Winselle dan Kai berdiri bersanding di taman belakang sekolah. Keduanya tersenyum hangat kearah kamera yang berada di tangan Ginan. Senyum Kai sangat bahagia dan tulus, sampai-sampai membuat Ginan berpikir apakah ia akan melihat Kai seperti ini lagi nanti? Winselle berhasil membuat Kai nyaman untuk berteman dengannya, pikir Ginan. Begitu pula dengan Winselle. Gugup mendominasi perasaannya walaupun ini sudah yang kedua kali untuknya berfoto bersama Kai. Tapi rasa gugup bahkan tak bisa menutupi rasa bahagianya yang memuncak. Senyum dan rona merah di pipinya tak bisa berkhianat begitu saja oleh perasaan yang sebenarnya.
Setelah selesai, Kai, Winselle, dan juga keluarga Kai pergi dari sana, menuju mobil yang dikendarai oleh Kenzie untuk pulang setelah mengantar Winselle seperti yang diperintah oleh Mamanya. Tapi di dekat pagar, seseorang datang menghampirinya. Itu Janu, datang dengan sebuah buket bunga mawar berukuran sedang dan senyum yang membuat matanya di balik kacamata membentuk bulan sabit. "Eh, ada Tante sama Teh Ginan," katanya sebelum akhirnya menunduk setengah badannya sebagai bentuk sapaan. "Minjem Nika-nya sebentar, ya...."
Semua yang ada di sana hanya terkekeh mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Janu, terkecuali Winselle dan juga Kai. Kai benar-benar muak dengan sikap pantang menyerahnya seorang Janurendra Djoe Lakeswara. Memang tidak baik untuk seorang manusia mudah menyerah, tapi untuk yang kali ini, biarkan sajalah ia menyerah. Ginan melirik kearah Kai yang terlihat tidak nyaman, "Cepetan, ya, Nu. Mau pulang kita."
Janu tersenyum lalu mengangguk. "Ngga lama kok, Teh. Janu cuma mau ngasih ini aja," katanya. Matanya yang tertutupi oleh kacamata kemudian beralih menatap Kai yang sudah memasang ekspresi malas. Tangan dengan buket mawar itu kemudian terulur untuk memberikannya pada sang pujaan hati. "Selamat atas kelulusannya, ya, Nika. Semoga yang kamu harapkan tidak lagi menjadi 'Semoga'."
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomantizmHanya kisah asmara klasik pada tahun 1990-an. Tentang kisah kasih di sekolah menengah menengah atas, dua insan yang enggan saling mengungkapkan karena terkesan memaksa garis takdir yang seharusnya.