16. Hulu dan Hilirnya

1.3K 219 18
                                    

Pagi harinya, aku bangun tidur dan berpakaian dengan seragam penyihirku. Karena Mitchell sudah berjanji akan memindahkanku ke asrama rakyat biasa dari asrama bangsawan, makanya aku sedikit mengemas barangku dan meletakkannya di dalam kotak berukuran sedang. Sewaktu-waktu jika Mitchell memindahkanku, aku bisa langsung pergi tanpa berkemas.

Setelah itu, aku pun melirik jam analog di atas perapian. Kali ini pun, aku bangun terlalu cepat. Setengah tujuh pagi, ketika kelasku dimulai pada pukul tujuh. Meski begitu, aku sudah tahu harus pergi ke mana untuk mengisi jam kosongku, yaitu kafetaria.

Aku pun keluar dari kamarku, bertemu dengan Aatish di luar kamar, dan pergi ke kafetaria bersama. Saat menaiki lift dan turun di lantai satu, kami pun berjalan di lorong yang sudah agak ramai oleh para siswa. Anehnya, kali ini aku merasakan begitu banyak tatapan tertuju padaku sampai aku merasa sedikit tak nyaman. Sesekali, tatapan yang menyorot dari mata mereka ke arahku memicing atau menatap merendahkan.

Apa ini?

Aatish saja sama bingungnya denganku ketika kami berdua lebih banyak mendapatkan atensi banyak orang dibandingkan sebelumnya. Aku pikir, mungkin karena ada Aatish yang ramah dan mudah bergaul di sampingku sehingga banyak tatapan jatuh pada kami, tetapi aku merasa bahwa perkaranya bukan hanya itu.

Saat tiba di kafetaria, banyak pasang mata kian tertuju padaku. Tak hanya tatapan, melainkan bisikan jengah dan cemoohan

Loh? Mengapa tiba-tiba aku ditindas di hari keduaku di sini?

Aatish memegang bahuku dengan lembut, lalu dia tersenyum. "Tidak apa, aku akan melindungimu sebagai kakak laki-laki yang baik!" katanya menyemangati.

Aku pun mengangguk walau ragu sejenak. Isu apa yang membuat semua orang sampai menindasku secara verbal seperti ini? Diam-diam, detak jantungku berdebar gelisah.

Aatish menyerahkan nampan lagi seperti kemarin, menyajikan makanan di piringku tanpa aku harus bergerak, lalu menuntunku ke kursi kosong di sudut kafetaria. Saat di jalan, aku mendengar bisik-bisik halus saat melintasi meja.

"Bahkan si anak baru sudah menundukkan bangsawan terpandang untuk menjadi bawahannya."

"Mengerikan! Bisa saja, kau selanjutnya!"

Lalu, mereka tertawa lepas, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku jika aku mendengar pernyataan itu.

Aku berusaha mengabaikannya, tapi sensasi tak nyaman sedikit melekat di sudut hatiku.

"Apa kau baik-baik saja? Jika kau mau, kita bisa sarapan di taman?" tanya Aatish dengan lembut.

"Tidak apa, aku baik-baik saja," balasku sambil tersenyum, agak kecut.

Aatish sedikit ragu, sebelum akhirnya kami duduk di kursi masing-masing, makan sarapan dengan hening karena Aatish tak memulai topik pembicaraan. Lagi-lagi, tatapan para siswa menatap ke arahku dan mencemoohku secara terang-terangan.

Ini rupanya menyakitkan.

***

Aatish mengantarku ke ruang kelasku, sekaligus melindungiku dari orang-orang yang berniat jahat padaku. Barusan saja, di lorong menuju kelasku, ada banyak orang yang hendak berpura-pura menabrakku supaya aku jatuh dengan memalukan, menumpahkan air, ceroboh dalam mantra sihir, dan banyak lainnya.

Sesungguhnya, dibandingkan menyakitkan lagi, ini sangat membuat frustrasi. Aku tak tahu isu apa yang sebenarnya membuat perubahan pada orang-orang di sekelilingku. Aku hanya murid baru tingkat pertama di hari kedua bersekolah, oke? Aku tidak tahu apa kesalahanku sampai harus ditindas seperti ini.

Aatish masih khawatir saat dia harus pergi ke kelasnya sendiri, tapi aku meyakinkan bahwa aku baik-baik saja dan bisa membela diri. Pada akhirnya, Aatish pun pergi dan aku memasuki ruang kelasku. Tatapan serupa langsung jatuh terhadapku, disertai dengan bisik-bisik gosip dengan nada halus, dan cercaan yang mengganggu.

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang